Merokok memiliki dampak buruk yang besar. Padahal Nabi SAW berpesan, janganlah kalian rusak diri kalian atau merusak orang lain
Hidayatullah.com -- Setiap fatwa yang dikeluarkan ulama memiliki pijakan dan pendekatan fiqh yang dikaji dengan sangat mendalam. Dalam muatan-muatan fiqh itu memiliki banyak pendapat, dan masing-masing mempunyai alasan yang kuat.
Hal itu diungkapkan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) H. Amidhan, terkait dikeluarkannya fatwa haram rokok oleh organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah. Belakangan fatwa ini dinilai sebagian kelompok tidak sehat karena alasan akan merugikan banyak pihak, terutama industri rokok.
Dalam hal ini, Amidhan melihat fatwa yang dikeluarkan Majelis Tarjih Muhammadiyah tersebut lebih kepada penekanan bahwa rokok itu merusak.
"Jadi tidak perlu dipersalahkan fatwa itu. Sebab pada kenyataannya rokok ini banyak merusak. Sedangkan Allah berfirman, janganlah kamu menyemplungkan diri dalam kerusakan," kata Amidhan, saat ditemui hidayatullah.com disela-sela acara seminar sehari di Gedung Balai Kartini Jakarta, Rabu (31/03).
Kaidah ushul fiqhnya, kata Kiai Amidhan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah berbunyi, "Laa Dharara wa Laa Dhirar,” (janganlah kalian rusak (melakukan dharar) atau merusak orang lain). Serta kaidah yang menyatakan,”Ma adda ilal haram fa huwa haram” atau “Al Washilah ilal haram fa hiya haram” (Sesuatu atau sarana yang membawa kepada keharaman, maka hukumnya haram).
Namun MUI sendiri dalam menyikapi masalah rokok ini, kata Amidhan, lebih konfrehensif dan fleksibel. Kata dia, MUI memfatwakan bainal haram wal makruh. "Minimal makruh," katanya.
Jika misalnya diharamkan, maka perlu juga mempertimbangkan bagaimana kelanjutan pendapatan pajak negara, kelangsungan industri rokok, dan lain-lain.
"Tapi tetap untuk hal-hal yang nyata merusak, kita memfatwakan haram," katanya.
Pada dasarnya, di masa Nabi Muhammad SAW belum ada dikenal apa yang disebut rokok sekarang ini. Yang ada saat itu, hanyalah kebiasan masyarakat Islam di Makkah dan Madinah mengonsumsi bawang.
Kebiasan tersebut ternyata cukup mengganggu. Pada akhirnya Rasulullah pun bersabda tentang kebiasaan tersebut agar kaum muslimin tidak mengkonsumsi bawang berlebihan karena aromnya yang tak sedap.
Sehingga, lanjut Amidhan, hal itu kemudian dianalogikan (qiyas) sekarang ini sebagai rokok yang tidak saja menggannggu, tapi juga merusak.
"Termasuk iklan-iklan rokok, kita juga anjurkan agar tidak mengampanyekan agar orang lain merokok," pungkasnya. [ain/www.hidayatullah.com]
Hidayatullah.com -- Setiap fatwa yang dikeluarkan ulama memiliki pijakan dan pendekatan fiqh yang dikaji dengan sangat mendalam. Dalam muatan-muatan fiqh itu memiliki banyak pendapat, dan masing-masing mempunyai alasan yang kuat.
Hal itu diungkapkan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) H. Amidhan, terkait dikeluarkannya fatwa haram rokok oleh organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah. Belakangan fatwa ini dinilai sebagian kelompok tidak sehat karena alasan akan merugikan banyak pihak, terutama industri rokok.
Dalam hal ini, Amidhan melihat fatwa yang dikeluarkan Majelis Tarjih Muhammadiyah tersebut lebih kepada penekanan bahwa rokok itu merusak.
"Jadi tidak perlu dipersalahkan fatwa itu. Sebab pada kenyataannya rokok ini banyak merusak. Sedangkan Allah berfirman, janganlah kamu menyemplungkan diri dalam kerusakan," kata Amidhan, saat ditemui hidayatullah.com disela-sela acara seminar sehari di Gedung Balai Kartini Jakarta, Rabu (31/03).
Kaidah ushul fiqhnya, kata Kiai Amidhan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah berbunyi, "Laa Dharara wa Laa Dhirar,” (janganlah kalian rusak (melakukan dharar) atau merusak orang lain). Serta kaidah yang menyatakan,”Ma adda ilal haram fa huwa haram” atau “Al Washilah ilal haram fa hiya haram” (Sesuatu atau sarana yang membawa kepada keharaman, maka hukumnya haram).
Namun MUI sendiri dalam menyikapi masalah rokok ini, kata Amidhan, lebih konfrehensif dan fleksibel. Kata dia, MUI memfatwakan bainal haram wal makruh. "Minimal makruh," katanya.
Jika misalnya diharamkan, maka perlu juga mempertimbangkan bagaimana kelanjutan pendapatan pajak negara, kelangsungan industri rokok, dan lain-lain.
"Tapi tetap untuk hal-hal yang nyata merusak, kita memfatwakan haram," katanya.
Pada dasarnya, di masa Nabi Muhammad SAW belum ada dikenal apa yang disebut rokok sekarang ini. Yang ada saat itu, hanyalah kebiasan masyarakat Islam di Makkah dan Madinah mengonsumsi bawang.
Kebiasan tersebut ternyata cukup mengganggu. Pada akhirnya Rasulullah pun bersabda tentang kebiasaan tersebut agar kaum muslimin tidak mengkonsumsi bawang berlebihan karena aromnya yang tak sedap.
Sehingga, lanjut Amidhan, hal itu kemudian dianalogikan (qiyas) sekarang ini sebagai rokok yang tidak saja menggannggu, tapi juga merusak.
"Termasuk iklan-iklan rokok, kita juga anjurkan agar tidak mengampanyekan agar orang lain merokok," pungkasnya. [ain/www.hidayatullah.com]
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar