Abangku, Engkau Malaikatku …

Bookmark and Share
Aku terlahir dari keluarga miskin. Bapakku meninggal dunia ketika aku masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Bisa dibilang aku tak pernah mendapatkan kasih sayang seorang bapak seperti yang dirasakan anak-anak lainnya. Sementara ibuku hanya seorang buruh cuci. Sejak bapak meninggal, ibulah yang menjadi tulang punggung keluarga.


Aku anak bungsu dari empat bersaudara. abangku engkau malaikatkuSejak bapak meninggal di kota X, abangku yang tertua membawa kami pindah ke sebuah kota, sebut saja kota P. Ibu ketika itu mulai sakit-sakitan. Ibu menderita penyakit asam urat akut. Seluruh tubuhnya kaku. Bahkan jari-jari tangannya telah membengkok, tak lagi dapat diluruskan. Sejak itulah posisi ibu digantikan oleh abangku yang sehari-hari bekerja sebagai seorang gharin di sebuah masjid. Dialah yang menafkahi kami di tengah kehidupan kota yang metropolis.

Abangku hanya tamatan SMA. Tapi ia pintar mengaji dan berceramah. Tak salah ketika pertama kami pindah ke kota itu ia memilih tinggal di masjid. Dari sanalah ia membantu saya dan kakak perempuan di atas saya sekolah. Sedangkan abangku yang nomor dua tamatan Madrasah Aliyah (MAN). Dia juga pintar mengaji dan berceramah. Sekarang, setelah ia menikah, iapun bekerja sebagai guru mengaji dan mengelola sebuah taman bacaan alquran.

Sebut saja namaku Lara (bukan nama sebenarnya-red), dan kakak perempuan di atasku namanya Sinta (juga bukan nama sebenarnya-red). Ketika pindah ke kota P, Sinta telah naik ke SMP. Dia bersekolah di sebuah sekolah agama. Mulanya dia rajin memakai jilbab dan busana muslimah. Namun setamat SMP, dia masuk ke SMA swasta. Di SMA inilah pergaulannya mulai bebas. Ia sering jarang pulang ke rumah. Entah apa yang dilakukannya diluar sana. Abangku selalu memarahinya. Tapi ia tidak peduli. Setiap kali dinasihati, setiap kali itu pula ia melawan.

Hingga akhirnya, setamat SMA—kakakku ini tidak lulus Ujian Nasional (UN)—ia memutuskan kawin lari dengan pacarnya ke suatu daerah. Sampai sekarang aku tidak tahu dimana keberadaan kakakku itu. Konon, melalui sebuah pesan singkat (sms) yang dikirimnya kepada abangku yang nomor dua, dia mengaku menyesal dengan semua perbuatannya selama ini. Memang, penyesalan selalu datang terlambat.

Tentu saja, keputusannya itu memukul perasaan abangku. Dia merasa gagal mendidik Sinta. Sebagai seorang yang dianggap “ustadz” di lingkungan masyarakat tempat kami tinggal di kota P, abangku merasa malu. Akhirnya ia memutuskan meninggalkan profesinya sebagai gharin, lalu mencari pekerjaan lain. Aku dan ibu pun dibawa pindah ke kota lain.

Sebab, perangai Sinta sebelumnya telah jadi perbincangan masyarakat. Mungkin, karena malu atas aib yang dibuatnya, iapun memutuskan pergi meninggalkan rumah. Padahal, jika dihitung, sudah tak terbilang uang yang dikeluarkan abangku untuk menyekolahkannya dan menyekolahkan aku.

Kata orang, aku dan Sinta anak broken home. Tidak mendapat perhatian dari orangtua. Mungkin ada benarnya. Ibuku, sejak ia sakit, tak banyak berbuat apa-apa. Namun ia masih bisa memasak dan melakukan tugas-tugas rumah. Sinta memang ada membantu ibu. Tapi entah mengapa aku menjadi anak yang manja. Aku tak mau bekerja di rumah. Semua ibu yang lakukan.

Sejak abangku “meninggalkan” masjid dan mencari kerja lain, abang mulai jarang pulang ke rumah. Katanya ia bekerja di sebuah percetakan. Ketika banyak order ia harus lembur. Kadang ia pulang dini hari. Namun perhatiannya kepadaku juga tidak berkurang. Dia mewanti-wanti agar aku jangan sampai meniru kakakku, Sinta. Ia selalu menasihati aku, bahwa seorang perempuan harus menjaga diri. Sekali tercoreng aib seumur hidup takkan terhapus. Ia takut kalau aku terlibat pergaulan terlarang yang dapat merusak kesucianku.

Ketika itu aku telah duduk di bangku SMP. Mulanya aku rajin belajar. Tapi akibat pengaruh kawan-kawan di sekolah aku mulai sering cabut. Nyaris aku terjebak narkoba. Namun anehnya, setiap kali aku terjerumus, selalu wajah abangku yang terbayang di pelupuk mata. Wajahnya tampak memelas agar aku berhati-hati dan segera kembali pulang ke rumah. Konon, aku tahu kalau abangku selalu berdoa untuk keselamatan diriku setiap kali ia usai shalat.

Di sekolah aku sering dimarahi guru. Aku dianggap anak pemalas. Berkali-kali perangaiku dilaporkan kepada abangku. Abangku pun sering memarahiku karena aku selalu membuatnya malu. Tapi entah setan mana yang merasuki tubuhku, sejak itu aku menjadi anak yang acuh tak acuh. Aku mulai melawan. Aku mulai sering meninggalkan shalat dan enggan mengaji. Abangku sering mengingatkan kepada alhmarhum bapak. Katanya, kalau aku tidak shalat, bapak akan menangis di alam kubur sana. Tapi entah mengapa aku tetap tidak peduli.

Bisa disebut perangai kakakku Sinta mulai menular kepada diriku. Puncaknya, ketika naik ke kelas 3 SMP, aku berkenalan dengan seorang laki-laki. Sebut saja namanya Rudi (bukan nama sebenarnya). Dia bekerja sebagai sopir angkot. Setiap pulang sekolah aku selalu naik angkotnya. Namun setiap kali aku akan membayar ongkos, ia pergi begitu saja dan tersenyum kepadaku. Kejadian itu tidak sekali dua kali. Namun selalu ia menggratiskan ongkos jika aku menumpang angkotnya.

Dari pertemuan itu entah mengapa lama kelamaan aku menjadi simpatik kepada Rudi. Sekilas aku lihat ia baik, perhatian dan lumayan tampan. Dari hari ke hari aku dan Rudi semakin akrab. Hingga suatu kali, di malam minggu, aku dan Rudi memutuskan untuk pacaran. Hubunganku ini tidak diketahui oleh abangku. Tentu saja, kalau abangku tahu, dia akan marah besar.

Ketika pacaran dengan Rudi, aku tidak lagi memakai jilbab. Kemana-mana aku memakai pakaian super ketat. Baju kaos lengan pendek ketat dan celana jean pensil. Tentu saja semua pakaian itu membentuk tubuhku yang mulai tumbuh sebagai gadis remaja.

Pergaulanku dengan Rudi semakin bebas saja. Namun untung, ketika ia meminta agar aku berbuat lebih jauh, aku selalu menolaknya. Sebab, seperti yang telah aku ceritakan di atas, setiap kali aku akan berbuat macam-macam, wajah abangku selalu datang dan memelas memintaku segera pulang. Abang selalu mengingatkan aku kepada almarhum bapak dan ibu yang tinggal sendirian di rumah.

Kadang aku kasihan juga dengan abangku itu. Tapi godaan setan sangat kuat mendorong diriku. Sebagai gadis remaja yang sedang mekar aku nyaris tak dapat mengontrol nafsu, apalagi Rudi selalu menawarkan keindahan-keindahan yang menjeratku. Oh, Ya Rabbi, ampuni dosa-dosa hambamu ini.

Puncak ‘kejahatanku” terjadi ketika aku dinyatakan tidak lulus UN. Aku shock berat. Aku marah pada guru-guru di sekolahku. Padahal aku berjanji kalau aku lulus SMP aku ingin melanjutkan ke SMA dan menjadi anak yang baik. Tapi ternyata doaku tidak dikabulkan Tuhan. Mungkin, inilah hukuman buatku yang selalu melawan orangtua, abangku, dan meninggalkan perintah-Nya.

Kenyataan yang kuhadapi itu, membuatku mengambil keputusan nekad. Tanpa sepengetahuan ibu dan abangku, aku membungkus sejumlah pakaianku dan memasukkannya ke dalam tas sekolah. Aku berniat kabur, dan ingin menikah saja dengan Rudi. Padahal umurku masih 17 tahun. Aku mengaggap apa gunanya lagi sekolah. Aku berpikir pendek, dengan menikah aku akan meringankan beban abang dan ibuku. Aku agaknya akan mengikuti jejak kakakku Sinta.

Aku pun minggat. Wajah ibuku yang renta dan tubuhnya yang telah ringkih tak menjadi perhatian bagiku lagi. Entah kemana hilang sudah perasaan ini ketika itu. Aku ingin bebas sebebas-bebasnya. Aku tak ingin lagi diatur-atur. Aku merasa sudah besar dan sudah dapat mengurus hidupku sendiri. Dan, aku yakin Rudi bisa mewujudkan semua mimpi-mimpiku.

Sehari dua hari aku tidak pulang ke rumah. Rudi membawaku ke rumah ibunya di sebuah daerah yang masih dalam kota P. keputusanku minggat tentu juga membuatnya panik. Ia juga takut jangan-jangan kedua abangku berbuat nekad dan bisa menghajarnya atau melaporkannya ke polisi. Tapi aku yakinkan bahwa keputusan ini adalah keputusanku dan aku siap mengambil resiko. Ketika itu aku sudah pasrah apapun yang dilakukan Rudi aku terima asalkan dia mau bertangung jawab.

Aku berhasil minggat selama empat hari. Tentu saja orang di rumah semuanya panik, khususnya abangku. Dia dan abangku yang nomor dua sibuk mencari kesana kemari. Abangku marah besar. Aku sangat tahu bagaimana kalau dia marah. Dia tidak segan-segan main tangan.

Akhirnya, entah siapa yang memberi tahu, abangku menemukanku di rumah ibu Rudi. Untung saja ketika itu Rudi sedang tidak berada di rumah, siang hari ia bekerja. Selama aku di rumah ibunya itu, Rudi pun tidak pernah tidur di rumah. Ia takut akan menjadi perhatian tetangga dan tak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap ibunya.

Ketika abangku tiba di rumah ibu Rudi, aku dalam keadaaan ketakutan. Aku sudah tak mau lagi di bawa pulang. Aku sudah muak dengan semuanya. Aku tetap bertahan. Berbagai bujukan tidak mempan lagi di telingaku. Namun akhirnya abangku mengangkatku paksa dan memasukkanku ke dalam mobil temannya dan membawaku pulang ke rumah.

Di rumah berhari-hari aku mengurung diri di kamar. Aku sempat di rukyah. Ada tetangga bilang aku kerasukan jin. Ibuku selalu menangis melihat sikapku yang tak mau bicara. Ia pun menduga aku telah diguna-guna Rudi dan keluarganya. Abangku yang sering pulang malam, akhirnya mempercepat jadwal kerjanya. Sebelum magrib ia telah berada di rumah. Di rumah ia selalu mengaji dan berdoa panjang. Aku yakin dia mendoakanku agar aku mendapat hidayah.

Sejak peristiwa itu, abangku memutuskan untuk pindah rumah lagi. Ia mengaku malu tinggal di lingkungan itu, dimana orang-orang telah tahu dengan perangaiku. Ia memboyongku dan ibu ke kota S. Lalu bekerja freelance sebagai tenaga marketing sebuah perusahan kecil. Sementara aku yang tak lulus UN, akhirnya dibujuk abangku untuk ikut paket B di kota P. Agar aku tidak lagi berkomunikasi dengan Rudi, abangku selalu menemaniku disaat ujian.

Sembari menunggu ijazah paket, akupun didaftarkannya ke sebuah SMA swasta. Aku lulus dengan perjanjian aku akan tetap sekolah di SMA itu jika lulus Paket B dan akan mengundurkan diri jika tidak lulus paket. Aku bersedia. Dan aku jalani masa-masa orientasi dengan kawan-kawan baru di sekolah. Di sekolah ini aku seolah kembali menemukan diriku. Aku mulai punya banyak kawan yang baik, karena sekolah ini sekolah Islam yang ketat peraturan.

Hidayah Allah aku dapatkan ketika malam terakhir orientasi. Aku dan kawan-kawanku mengikuti muhasabah. Seorang ustadz membawakan tausyiah yang sangat menyentuh. Dia mengingatkan tentang dosa melawan kepada orangtua khususnya ibu, dosa membuka aurat, dosa menyia-nyiakan ilmu, dosa meninggalkan beribadah, dan visualisasi tentang siksa kubur. Malam itu nyaris aku pingsan mengingat semua dosa-dosa yang pernah aku lakukan. Semua terbayang dipelupuk mataku.

Ya Robbi …
Esoknya, ketika aku pulang ke rumah, aku langsung mencari ibu. Ibu kupeluk, dan aku  menangis sejadi-jadinya dipangkuan perempuan yang sekian lama aku sia-siakan itu. Ibuku juga menangis. Bersamaan dengan itu abangku pulang dari kerjanya. Ia memandangku dan memandang ibu dengan linangan air mata. Itu adalah air mata kesekian kali yang aku lihat tumpah dari mata teduh seorang laki-laki, dialah abangku yang juga malaikatku. Seorang lelaki penyabar pengganti sosok ayahku yang telah tiada. Robbi, muliakanlah hidupnya. (*)

(Seperti diceritakan kepada Muhammad Subhan, koresponden Sabili di Padang, Sumatera Barat) (http://www.sabili.co.id)

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar

Powered By Blogger