Rumah yang barakah, mengantarkan penghuninya meraih kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat
RUMAH dalam istilah bahasa Arab disebut ‘sakan’. Tempat yang menenangkan pikiran dan hati penghuninya. Tempat untuk membaringkan badan, dari kepenatan kehidupan. Tempat untuk mengurai kerumitan kehidupan yang dihadapi di luar. Tempat berlabuh secara lahir dan batin. Tempat untuk beristirahat, menyusun kekuatan baru. Bukan sebatas adress (alamat resmi) atau home (tempat tinggal atau tempat perlindungan).
Rumah merupakan padang jiwa yang luas dan nyaman. Tempat menumpahkan sisi kepolosan dan kekanak-kanakan kita untuk bermain dengan lugu dan merdeka. Saat kita melepaskan kelemahan-kelemahan kita dengan aman. Saat kita merasa bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Saat kita menjadi bocah besar, berkumis. Di telaga kedalamannya kita menyedot energi spiritual dan ketajaman emosional. Tetapi, pada saat yang sama di sana kita menyiapkan pahlawan untuk memenuhi panggilan zamannya.
Seorang ideolog ormas Islam terbesar di dunia, Syaikh Said Hawa mengatakan: “Sesungguhnya zaman kita ini didominasi dan terhegemoni syahwat (kecintaan kepada hawa nafsu) dan syubhat (salah paham terhadap kebenaran), serta ghoflah (melalaikan misi kehidupan). Benteng terakhir untuk mempertahankan iman, ibadah, dan akhlak, adalah rumah dan masjid.”
Dari statemen yang bijak di atas dipahami bahwa rumah yang berkualitas memiliki sumbangan yang terbesar dalam mengantarkan penduduk dunia meraih kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Sebaliknya, rumah yang bermasalah akan melahirkan prahara kehidupan. Rumah yang semula menjadi tumpuhan harapan kebahagiaan penghuninya, berubah menjadi sumber malapetaka, ketika ia dibangun dari sumber yang tidak halal. Misalnya; rumah didirikan berasal dari hasil korupsi, kolusi, dan nepoteisme (KKN).
Rumah menjadi lubang kehancuran reputasi pemiliknya, ketika rumah itu hanya menonjolkan asesoris dan atribut kemegahan, tetapi tidak ada ruang untuk membangun sandaran spiritual, tempat untuk berbagi (sharing), tempat untuk saling memberi dan menerima. Bukan tempat untuk mengambil, menuntut, pantang berkurban. Bahkan kalau perlu mengurbankan kepentingan bangsa dan negara untuk memperkaya diri dan mempertahankan status quo. Dalam keadaan demikan, rumah yang sejatinya menjadi taman surga, berubah menjadi lubang neraka. Sehingga tampak sunyi, sempit, dan senyap, bagaikan kuburan. Rumahmu laksana nerakamu.
Apalah arti bangunan yang menjulang tinggi, tata letak yang indah dan strategis, taman yang tertata rapi, halaman yang luas, panorama lampu yang terang, pohon yang rindang, jika pemiliknya berjiwa kerdil, mementingkan diri sendiri (ananiyah, egois). Sehingga pintu pikiran, hati pemiliknya, serta pintu rumahnya tidak ada ruang yang terbuka untuk bersinergi dengan tetangga dan kerabat. Jika orang-orang yang terdekat di rumah itu tidak mencintainya, mustahil bisa membangun komunikasi dengan lingkungan sosial yang lebih luas.
َمَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاء كَمَثَلِ الْعَنكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (QS. Al Ankabut (29) : 41).
Dalam koran Suara Merdeka (edisi Minggu Kliwon, 28 Maret 2010), rubrik Parodi (lakon yang mengandung sindiran) oleh Prie GS, menjelaskan prahara rumah. Rumah yang semula tempat kembali, dikosongkan karena mengalami disfungsi. Para kuli tinta mengerumuninya bukan untuk mengaguminya, tetapi untuk dijadikan alat bukti kejahatan yang dilakukan oleh pemiliknya.
Orang-orang berbondong-bondong mendatanginya bukan untuk memberikan acungan jempol, memujinya, tetapi mencerca dan mengutuknya. Rumah yang seharusnya menjadi sumber barakah (tambahan kebaikan) bagi siapa saja yang pernah menghampirinya, berubah menjadi laknat (dijauhkan dari kebaikan). Rumah yang asri secara lahiriyah, tetapi sempit secara non-fisik. Setiap orang yang melihatnya mencibirkannya. Khalayak ramai mendatanginya bukan untuk bertamu, tetapi menggerutu.
Seluruh keindahan bangunannya, air mancur, kebun bunga, megahnya bangunan, luasnya halaman, bertingkat, bukan menjadi contoh dan gambaran rumah yang ideal. Tetapi rumah itu akhirnya menjadi rumah kutukan, rumah cibiran, rumah cercaan, rumah yang mengalami krisis makna.
Layakkah untuk Dihuni?
Apakah rumah cibiran itu layak untuk dijadikan tempat untuk bernaung dan berteduh? Sudah tentu, tidak. Kini, rumah itu kosong dari gambaran sakinah (ketenangan), mawaddah (kecintaan), dan rahmah (kasih sayang). Padahal ketiga suasana itulah yang sangat diperlukan untuk perkembangan fisik dan psikologi anak sebagai buah membangun rumah tangga.
Rumah yang kosong dari nilai-nilai religius, menelorkan penghuni yang jiwanya retak-retak, jiwanya terbelah (split personality). Manusia yang sehat secara fisik, tetapi ruhaninya menjerit kesakitan. Manusia yang cerdas otaknya, tetapi lemah imannya. Manusia yang tidak seimbang antara ikhtiar dan doa, tidak seimbang antara kekuatan tubuh dengan kekuatan ruhiyah, tidak paralel antara fikir dan zikir. Rumah yang dihuni oleh manusia yang terasing dari lingkungan sosial yang ramai.
Sebaik-baik rumah adalah dibangun dengan etos memberi. Memberi sapaan, senyuman, salam, kepada siapa saja yang melewatinya (afsyus salam). Bangunan pisik dan spiritualnya terjaga karena penghuninya senang mengantarkan makanan untuk tetangga yang telah mencium aroma masakannya (ath’imuth tho’am). Itulah sebabnya mengapa pagar mengkok sering disebut lebih kokoh dari pagar tembok. Rumah didesain secara terbuka untuk menjalin silaturrahim. Rumah yang di dalamnya dibangun untuk tempat membaca kalam ilahi. Untuk mengokohkan sandaran spiritual penghuninya.
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“(Wahai kaum wanita), ingatlah ayat-ayat Allah dan al-hikmah yang dibacakan di rumah-rumah kamu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang dan Maha Mengetahui.” (QS. Al Ahzab (33) : 34).
Keluarga yang menuruti ego, ananiyah, dan keinginan sepihak, hubungan batin anak dengan kedua orangtuanya terputus, semua anggota keluarganya bersatu hanya lantaran bertempat tinggal sama, adress resmi (formalitas). Komunitas seperti itu akan membuat lobang kehancurannya sendiri. Sekalipun secara lahir masih serba mentereng, wah.
Hal ini karena faham materialisme, tidak mengakui tuntutan fithrah manusia dan harkat martabatnya. Manusia dipersepsikan sebagai mesin (sekrup-sekrup) produksi, dan nilainya dengan standar (ukuran) manhours --hasil kerja seseorang dihitung dalam satu jam. Tampak di sini keutuhan berkeluarga tertindas, sehingga hancur pula sendi-sendi berbangsa dan bernegara (‘imadul bilad).
Banyak di kalangan aktivis pergerakan Islam – secara tidak sadar – terkontaminasi paham ekstrim komunal RRC. Kaum bapak dimasukkan bangsal-bangsal khusus, dan anak-anak yang belum dewasa dimasukkan pula dalam bangsal-bangsal penitipan anak dan menjadi milik negara. Semua itu atas nama meningkatkan income, karier, dan produktivitas.
Bila kegiatan suami dan isteri bertepatan, pasangan ini bisa mengatur jadual pertemuan. Kehidupan keluarga berjalan secara sehat, normal, dan wajar. Tetapi, jika kesibukan keduanya berbeda, maka pertemuan hanya bisa dilakukan via teknologi komunikasi. Pertemuan yang kering, dan terjadilah kegersangan spiritual.
Jika penghuni rumah lebih yakin dengan kekuatan mengambil, meminta ketimbang memberi, maka memintalah terus. Bila perlu mencurilah. Kuraslah uang negara sekehendak perutmu. Bangunlah yang bukan milikmu itu untuk membangun istana pribadimu. Manfaatkanlah wewenang yang berada di genggaman tanganmu untuk mengumpulkan kekayaanmu, hatta tujuh turunan sekalipun. Tetapi, percayalah apa yang engkau bangun selama ini tidak berarti apa-apa, kecuali akan diminta kembali secara paksa, dengan cara yang tidak pernah engkau duga.
Penulis teringat ketika acara muwada’ah di pesantren dahulu. Pak Kiai mengutip sastra Arab: “Apabila engkau membawa keranda mayat ke kuburan, ingatlah suatu saat engkau akan digotong. Dan apabila engkau diserahi sebuah urusan kaum, ingatlah suatu saat engkau akan dimakzulkan (dilengserkan).”
Betapa sakitnya, kita tidak bisa menikmati dan memaknai apa yang kita kumpulkan dengan susah payah. Oleh: Ust. Shalih Hasyim-kolumnis www.hidayatullah.com [Sumber : www.hidayatullah.com]
RUMAH dalam istilah bahasa Arab disebut ‘sakan’. Tempat yang menenangkan pikiran dan hati penghuninya. Tempat untuk membaringkan badan, dari kepenatan kehidupan. Tempat untuk mengurai kerumitan kehidupan yang dihadapi di luar. Tempat berlabuh secara lahir dan batin. Tempat untuk beristirahat, menyusun kekuatan baru. Bukan sebatas adress (alamat resmi) atau home (tempat tinggal atau tempat perlindungan).
Rumah merupakan padang jiwa yang luas dan nyaman. Tempat menumpahkan sisi kepolosan dan kekanak-kanakan kita untuk bermain dengan lugu dan merdeka. Saat kita melepaskan kelemahan-kelemahan kita dengan aman. Saat kita merasa bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Saat kita menjadi bocah besar, berkumis. Di telaga kedalamannya kita menyedot energi spiritual dan ketajaman emosional. Tetapi, pada saat yang sama di sana kita menyiapkan pahlawan untuk memenuhi panggilan zamannya.
Seorang ideolog ormas Islam terbesar di dunia, Syaikh Said Hawa mengatakan: “Sesungguhnya zaman kita ini didominasi dan terhegemoni syahwat (kecintaan kepada hawa nafsu) dan syubhat (salah paham terhadap kebenaran), serta ghoflah (melalaikan misi kehidupan). Benteng terakhir untuk mempertahankan iman, ibadah, dan akhlak, adalah rumah dan masjid.”
Dari statemen yang bijak di atas dipahami bahwa rumah yang berkualitas memiliki sumbangan yang terbesar dalam mengantarkan penduduk dunia meraih kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Sebaliknya, rumah yang bermasalah akan melahirkan prahara kehidupan. Rumah yang semula menjadi tumpuhan harapan kebahagiaan penghuninya, berubah menjadi sumber malapetaka, ketika ia dibangun dari sumber yang tidak halal. Misalnya; rumah didirikan berasal dari hasil korupsi, kolusi, dan nepoteisme (KKN).
Rumah menjadi lubang kehancuran reputasi pemiliknya, ketika rumah itu hanya menonjolkan asesoris dan atribut kemegahan, tetapi tidak ada ruang untuk membangun sandaran spiritual, tempat untuk berbagi (sharing), tempat untuk saling memberi dan menerima. Bukan tempat untuk mengambil, menuntut, pantang berkurban. Bahkan kalau perlu mengurbankan kepentingan bangsa dan negara untuk memperkaya diri dan mempertahankan status quo. Dalam keadaan demikan, rumah yang sejatinya menjadi taman surga, berubah menjadi lubang neraka. Sehingga tampak sunyi, sempit, dan senyap, bagaikan kuburan. Rumahmu laksana nerakamu.
Apalah arti bangunan yang menjulang tinggi, tata letak yang indah dan strategis, taman yang tertata rapi, halaman yang luas, panorama lampu yang terang, pohon yang rindang, jika pemiliknya berjiwa kerdil, mementingkan diri sendiri (ananiyah, egois). Sehingga pintu pikiran, hati pemiliknya, serta pintu rumahnya tidak ada ruang yang terbuka untuk bersinergi dengan tetangga dan kerabat. Jika orang-orang yang terdekat di rumah itu tidak mencintainya, mustahil bisa membangun komunikasi dengan lingkungan sosial yang lebih luas.
َمَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاء كَمَثَلِ الْعَنكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (QS. Al Ankabut (29) : 41).
Dalam koran Suara Merdeka (edisi Minggu Kliwon, 28 Maret 2010), rubrik Parodi (lakon yang mengandung sindiran) oleh Prie GS, menjelaskan prahara rumah. Rumah yang semula tempat kembali, dikosongkan karena mengalami disfungsi. Para kuli tinta mengerumuninya bukan untuk mengaguminya, tetapi untuk dijadikan alat bukti kejahatan yang dilakukan oleh pemiliknya.
Orang-orang berbondong-bondong mendatanginya bukan untuk memberikan acungan jempol, memujinya, tetapi mencerca dan mengutuknya. Rumah yang seharusnya menjadi sumber barakah (tambahan kebaikan) bagi siapa saja yang pernah menghampirinya, berubah menjadi laknat (dijauhkan dari kebaikan). Rumah yang asri secara lahiriyah, tetapi sempit secara non-fisik. Setiap orang yang melihatnya mencibirkannya. Khalayak ramai mendatanginya bukan untuk bertamu, tetapi menggerutu.
Seluruh keindahan bangunannya, air mancur, kebun bunga, megahnya bangunan, luasnya halaman, bertingkat, bukan menjadi contoh dan gambaran rumah yang ideal. Tetapi rumah itu akhirnya menjadi rumah kutukan, rumah cibiran, rumah cercaan, rumah yang mengalami krisis makna.
Layakkah untuk Dihuni?
Apakah rumah cibiran itu layak untuk dijadikan tempat untuk bernaung dan berteduh? Sudah tentu, tidak. Kini, rumah itu kosong dari gambaran sakinah (ketenangan), mawaddah (kecintaan), dan rahmah (kasih sayang). Padahal ketiga suasana itulah yang sangat diperlukan untuk perkembangan fisik dan psikologi anak sebagai buah membangun rumah tangga.
Rumah yang kosong dari nilai-nilai religius, menelorkan penghuni yang jiwanya retak-retak, jiwanya terbelah (split personality). Manusia yang sehat secara fisik, tetapi ruhaninya menjerit kesakitan. Manusia yang cerdas otaknya, tetapi lemah imannya. Manusia yang tidak seimbang antara ikhtiar dan doa, tidak seimbang antara kekuatan tubuh dengan kekuatan ruhiyah, tidak paralel antara fikir dan zikir. Rumah yang dihuni oleh manusia yang terasing dari lingkungan sosial yang ramai.
Sebaik-baik rumah adalah dibangun dengan etos memberi. Memberi sapaan, senyuman, salam, kepada siapa saja yang melewatinya (afsyus salam). Bangunan pisik dan spiritualnya terjaga karena penghuninya senang mengantarkan makanan untuk tetangga yang telah mencium aroma masakannya (ath’imuth tho’am). Itulah sebabnya mengapa pagar mengkok sering disebut lebih kokoh dari pagar tembok. Rumah didesain secara terbuka untuk menjalin silaturrahim. Rumah yang di dalamnya dibangun untuk tempat membaca kalam ilahi. Untuk mengokohkan sandaran spiritual penghuninya.
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“(Wahai kaum wanita), ingatlah ayat-ayat Allah dan al-hikmah yang dibacakan di rumah-rumah kamu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang dan Maha Mengetahui.” (QS. Al Ahzab (33) : 34).
Keluarga yang menuruti ego, ananiyah, dan keinginan sepihak, hubungan batin anak dengan kedua orangtuanya terputus, semua anggota keluarganya bersatu hanya lantaran bertempat tinggal sama, adress resmi (formalitas). Komunitas seperti itu akan membuat lobang kehancurannya sendiri. Sekalipun secara lahir masih serba mentereng, wah.
Hal ini karena faham materialisme, tidak mengakui tuntutan fithrah manusia dan harkat martabatnya. Manusia dipersepsikan sebagai mesin (sekrup-sekrup) produksi, dan nilainya dengan standar (ukuran) manhours --hasil kerja seseorang dihitung dalam satu jam. Tampak di sini keutuhan berkeluarga tertindas, sehingga hancur pula sendi-sendi berbangsa dan bernegara (‘imadul bilad).
Banyak di kalangan aktivis pergerakan Islam – secara tidak sadar – terkontaminasi paham ekstrim komunal RRC. Kaum bapak dimasukkan bangsal-bangsal khusus, dan anak-anak yang belum dewasa dimasukkan pula dalam bangsal-bangsal penitipan anak dan menjadi milik negara. Semua itu atas nama meningkatkan income, karier, dan produktivitas.
Bila kegiatan suami dan isteri bertepatan, pasangan ini bisa mengatur jadual pertemuan. Kehidupan keluarga berjalan secara sehat, normal, dan wajar. Tetapi, jika kesibukan keduanya berbeda, maka pertemuan hanya bisa dilakukan via teknologi komunikasi. Pertemuan yang kering, dan terjadilah kegersangan spiritual.
Jika penghuni rumah lebih yakin dengan kekuatan mengambil, meminta ketimbang memberi, maka memintalah terus. Bila perlu mencurilah. Kuraslah uang negara sekehendak perutmu. Bangunlah yang bukan milikmu itu untuk membangun istana pribadimu. Manfaatkanlah wewenang yang berada di genggaman tanganmu untuk mengumpulkan kekayaanmu, hatta tujuh turunan sekalipun. Tetapi, percayalah apa yang engkau bangun selama ini tidak berarti apa-apa, kecuali akan diminta kembali secara paksa, dengan cara yang tidak pernah engkau duga.
Penulis teringat ketika acara muwada’ah di pesantren dahulu. Pak Kiai mengutip sastra Arab: “Apabila engkau membawa keranda mayat ke kuburan, ingatlah suatu saat engkau akan digotong. Dan apabila engkau diserahi sebuah urusan kaum, ingatlah suatu saat engkau akan dimakzulkan (dilengserkan).”
Betapa sakitnya, kita tidak bisa menikmati dan memaknai apa yang kita kumpulkan dengan susah payah. Oleh: Ust. Shalih Hasyim-kolumnis www.hidayatullah.com [Sumber : www.hidayatullah.com]
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar