Kebudayaan di Indonesia : Keanekaragaman, Kesamaan, Ragam, Hubungan, Interaksi, Pengaruh Asing

Bookmark and Share
Artikel dan Makalah tentang Budaya Indonesia : Keanekaragaman, Kesamaan, Ragam, Hubungan, Interaksi, Pengaruh Asing - Apakah kalian mengenal dan senang dengan berbagai macam budaya yang ada di daerah tempat tinggal kalian? Tentunya kalian kenal dan menyenanginya. Budaya tersebut pasti kalian terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pernahkah kalian pergi ke beberapa daerah lain? Apakah kalian melihat ada beberapa kebiasaan, adat yang berbeda? Pasti kalian bertanyatanya kenapa di beberapa tempat memiliki budaya dan kebiasaan yang berbeda-beda. Menarik sekali bukan? Kalian tentunya senang berkeliling dan berkunjung ke beberapa daerah dan mengetahui berbagai macam budaya daerah setempat yang berbeda-beda. Kalian akan mendapatkan pengalaman dan pengetahuan yang banyak. Untuk itu cobalah untuk mengenal beberapa budaya lokal dari beberapa daerah sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa.

A. Budaya Lokal

Menurut kalian apa yang dimaksud dengan budaya lokal? apakah kalian sudah memahaminya? Untuk lebih jelasnya, coba simaklah pengertian budaya lokal berikut ini kemudian bandingkan dengan pemahaman kalian sebelumnya! Budaya lokal sama artinya dengan budaya daerah. Contohnya adalah budaya daerah Jakarta, budaya daerah Makassar, budaya daerah Medan, budaya daerah Samarinda, budaya daerah Bandung, budaya daerah Semarang, budaya daerah Surabaya, dan sebagainya. Kebudayaan daerah adalah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di suatu daerah dengan didukung oleh anggota masyarakat yang lebih luas yang terdiri dari berbagai suku bangsa (Hidayah, 1998).
prosesi kembul bujono dalam Ritual Tumpengan Sedekah Bumi
Gambar 1. Ribuan warga mengikuti salah satu budaya lokal, yaitu prosesi kembul bujono dalam Ritual Tumpengan Sedekah Bumi di Desa Wonosari. (Foto: Ariswanto/krjogja)
Budaya daerah Jakarta adalah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di daerah Jakarta yang didukung oleh anggota masyarakat Jakarta yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Demikian juga halnya dengan budaya daerah Medan, budaya daerah Bandung, budaya daerah Semarang, budaya daerah Surabaya, budaya daerah Samarinda, budaya daerah Makassar, dan sebagainya.

Menurut Koentjaraningrat (1989), suku bangsa adalah merupakan kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai sistem interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi tersebut, adanya kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatukan semua anggotanya serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri. Suku bangsa adalah suatu kelompok yang berada dalam suatu kelompok sosial yang lebih besar.

Menurut pemahaman kalian selama ini, apakah budaya daerah sama dengan budaya suku bangsa? Tentu jawabannya bisa sama bisa juga tidak sama. Pada daerah-daerah pelosok dan pedesaan yang belum begitu maju tentu saja budaya daerah dan budaya suku bangsa merujuk pada budaya yang sama. Contohnya; budaya suku bangsa Sentani dan budaya daerah Sentani merujuk pada budaya yang sama, Suku bangsa Sentano bermukim di Kecamatan Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Hampir semua penduduk Sentani adalah suku bangsa Sentani sehingga budaya yang tumbuh dan berkembang di daerah Sentani sama dengan budaya suku bangsa Sentani.

Coba kalian ikuti pembahasan berikut ini maka kalian akan mendapatkan wawasan keanekaragaman budaya.

Pada daerah-daerah yang sudah maju, seperti kota-kota besar di Indonesia, budaya daerah tidak sama dengan budaya suku bangsa. Contohnya budaya daerah Jakarta tidak sama dengan budaya Betawi, Budaya Betawi tumbuh dan berkembang pada suku bangsa Betawi sedangkan wilayah budaya daerah Jakarta adalah budaya yang tumbuh dan berkembang di Jakarta serta dapat didukung oleh orang-orang yang berasal dari berbagai suku bangsa yang berbeda-beda. Dengan demikian budaya daerah Jakarta adalah perpaduan dari berbagai budaya dari para pendukung budaya yang bermukim di Jakarta, sehingga budaya Jakarta berbeda dengan budaya Betawi. Begitu juga halnya dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Investigasi Budaya 1 :

Coba tumbuhkan orientasi kecakapan pada diri kalian dan kembangkan rasa keingintahuan

Lakukan pengamatan terhadap beberapa budaya lokal yang ada di beberapa daerah yang berbeda. Nilai-nilai apa yang dapat kalian tangkap dan ketahui dari beberapa budaya lokal tersebut. Serta mengapa masyarakat tersebut masih melestarikannya. Amatilah dengan cermat dan teliti!

1. Contoh-contoh Budaya Lokal

Berdasarkan daerahnya, wilayah Indonesia menurut Koentjaraningrat (1999) terdiri dari beberapa budaya lokal, yaitu :

a. Tipe masyarakat berdasarkan sistem berkebun yang sangat sederhana, dengan keladi dan ubi jalar sebagai tanaman pokoknya dalam kombinasi dengan berburu dan meramu. Penanaman padi tidak dibiasakan, sistem dasar kemasyarakatannya berupa desa terpencil tanpa diferensiasi dan stratifikasi yang berarti; gelombang pengaruh kebudayaan menanam padi, kebudayaan perunggu, kebudayaan Hindu dan agama Islam tidak dialami. Isolasi tersebut akhirnya dibuka oleh zending atau missie.

Contoh budaya lokal berdasarkan sistem berkebun yang sangat sederhana ini terdapat pada kebudayaan Mentawai dan penduduk Pantai Utara Papua.

b. Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam di ladang atau di sawah dengan padi sebagai tanaman pokok. Sistem dasar kemasyarakatannya berupa komunitas petani dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang sedang dan yang merasa bagian bawah dari suatu kebudayaan yang lebih besar dengan suatu bagian atas yang dianggap lebih halus dan beradab di dalam masyarakat kota. Masyarakat kota yang menjadi arah orientasinya itu, mewujudkan suatu peradaban kepegawaian yang dibawa oleh sistem pemerintahan kolonial beserta zending dan missie, atau oleh pemerintah Republik Indonesia yang merdeka, gelombang pengaruh kebudayaan Hindu dan agama Islam tidak dialami.

Contoh budaya lokal berdasarkan tipe masyarakat pedesaan bercocok tanam terdapat pada kebudayaan Nias, Batak, penduduk Kalimantan Tengah, Minahasa, Flores dan Ambon.

c. Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan sistem bercocok tanam di sawah dengan padi sebagai tanaman pokoknya. Sistem dasar kemasyarakatannya berupa komunitas petani dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang agak sempit. Masyarakat kota yang menjadikan arah orientasinya mewujudkan suatu bekas kerajaan pertanian bercampur dengan peradaban kepegawaian yang di bawa oleh sistem pemerintahan kolonial. Pada tipe masyarakat ini, semua gelombang pengaruh kebudayaan asing dialami, gelombang pengaruh agama Islam dialami sejak setengah abad terakhir ini.

Contoh budaya lokal berdasar-kan tipe masyarakat bercocok tanam dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang agak kompleks terdapat pada kebudayaan Sunda, Jawa, dan Bali.

d. Tipe masyarakat perkotaan yang mempunyai ciri-ciri pusat pemerintahan dengan sektor perdagangan dan industri yang lemah.

Contoh budaya lokal dengan tipe masyarakat perkotaan terdapat pada kota-kota kabupaten dan provinsi-provinsi di Indonesia.

e. Tipe masyarakat metropolitan yang mulai mengembangkan suatu sektor perdagangan dan industri yang agak berarti, tetapi masih didominasi oleh aktivitas kehidupan pemerintahan, dengan suatu sektor kepegawaian yang luas dan dengan kesibukan politik di tingkat daerah maupun nasional.

Contoh budaya lokal dengan tipe masyarakat metropolitan terdapat pada kebudayaan di daerah Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Palembang, dan lain-lain.

Investigasi Budaya 2:

Coba kembangkan keingintahuan kalian

Coba diskusikan dengan teman-teman kalian mengapa di Jakarta terdapat berbagai macam budaya! Kemudian menurut kalian bagaimana solusi untuk meningkatkan integrasi nasional dengan keanekaragaman tipe masyarakat yang ada sekarang ini?

Sangat sukar untuk menentukan secara pasti jumlah suku bangsa Indonesia. Kesulitan itu bersumber dari tolak ukur yang digunakan dalam menentukan suku bangsa. Banyak tolak ukur yang dapat digunakan dan penggunaan masing-masing tolak ukur akan menghasilkan jumlah suku bangsa Indonesia yang berbeda-beda. Hidayah dalam buku Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia (1999) mengidentifikasi setidaknya ada 656 suku bangsa Indonesia. Sedangkan menurut M.A. Jaspen yang dikutip oleh Kusumah, dkk (1999:7.19) dengan menggunakan tolak ukur bahasa daerah, kebudayaan serta susunan masyarakat menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat 364 suku bangsa, dengan perincian sebagai berikut:

1. Sumatra : 47 suku bangsa
2. Jawa : 7 suku bangsa
3. Kalimantan : 73 suku bangsa
4. Sulawesi : 116 suku bangsa
5. Nusa Tenggara : 31 suku bangsa
6. Maluku Ambon : 41 suku bangsa
7. Irian Jaya (Papua) : 49 suku bangsa

Setiap suku bangsa memiliki budaya yang unik dan khas. Sekarang dapat kalian bayangkan betapa beraneka ragamnya budaya bangsa Indonesia.

Berikut ini disarikan kehidupan beberapa suku bangsa Indonesia yang menggambarkan kebudayaan suku bangsa yang bersangkutan, dikutip dari buku Hidayah (1999).

a. Suku bangsa Aceh

Suku bangsa Aceh merupakan hasil pembauran beberapa bangsa pendatang dengan beberapa suku bangsa asli di Sumatera, yaitu dari Arab, India, Persia, Turki, Melayu, Minangkabau, Nias, Jawa, dan lain-lain. Asimilasi suku bangsa Aceh dengan suku bangsa lain melahirkan suku bangsa baru, yaitu suku bangsa Aneuk Jame dan Singkil. Daerah yang didiami suku bangsa Aceh biasa disebut dengan Serambi Mekah karena Aceh adalah pintu gerbang pertama masuknya agama Islam ke Indonesia, yaitu sekitar abad ke 12 – 14 Masehi. Lebar (1964) membagi suku bangsa Aceh menjadi orang Aceh pegunungan (ureung gunong) dan orang Aceh daratan (ureung baroh).

Masyarakat Aceh sebagian besar hidup dari mata pencaharian bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Sebagian ada pula yang berkebun kelapa, cengkeh, kopi, lada, kelapa sawit, dan lain-lain. Mereka yang bermukim di pesisir pantai atau sungai pada umumnya bekerja sebagai nelayan. Bahasa Aceh termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Aceh terdiri dari beberapa dialek, seperti dialek Pidie, Meulaboh, Matang, Aceh Besar dan Tunong.

Bentuk kelompok kekerabatan yang utama dalam masyarakat Aceh adalah keluarga inti, karena umumnya anggota rumah tangga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya saja. Prinsip garis keturunannya adalah bilineal. Kerabatan dari pihak ayah disebut wali atau biek, sedangkan kerabat dari ibu disebut karong atau koy.

Bentuk pemukiman yang menjadi dasar kesatuan hidup komunalnya disebut gampong (kampung atau desa) yang umumnya terletak di pesisir dan dekat aliran sungai, selebihnya tersebar di daerah perbukitan, lembah, dan pinggir hutan. Di setiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah) atau dayah (pesantren) dan meusegit (masjid). Orang Aceh adalah penganut agama Islam yang taat. Meskipun begitu, di antara mereka ada yang masih menjalankan praktik kepercayaan animisme dan dinamisme.

Kesenian Aceh banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam, namun telah dikembangkan dan disesuaikan dengan lingkungan sosial budaya Aceh sendiri. Seni kaligrafi Arab juga banyak berkembang di daerah ini, seperti terlihat pada berbagai ukiran dan pada relief masjid, rumah dan surau mereka. Seni tari yang terkenal dari Aceh adalah seudati, seudati inong dan seudati tunang.

b. Suku bangsa Baduy

Orang Baduy dianggap juga sebagai bagian dari suku bangsa Sunda karena sebagian besar unsur budaya dan bahasanya sama dengan kebudayaan Sunda. Masyarakat Baduy terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok Baduy Dalam yang disebut juga Urang Kejeroan dan kelompok Baduy Luar yang disebut juga Urang Kaluaran atau Urang Panamping. Bahasa yang digunakan orang Baduy adalah bahasa Sunda dialek Rangkas, yang dianggap sebagai bahasa Sunda Kasar, karena tidak memakai undak-usuk bahasa (gaya bahasa untuk membedakan golongan lawan bicara), tetapi ada tekanan dalam pengucapan untuk membedakan arti. Orang Baduy sangat mematuhi larangan memakai kata-kata buyut (tabu).

Mata pencaharian utama masyarakat Baduy adalah berladang, tebang dan bakar hutan untuk menanam padi. Perladangan ini mereka sebut pahumaan (bertanam padi di huma atau ladang). Kesatuan kerja pengolah huma adalah keluarga inti. Mata pencaharian mereka selain berladang adalah mencari kayu dan hasil hutan.

Prinsip hubungan kekerabatan orang Baduy adalah bilateral, meskipun bentuk garis keturunan patrilineal kadang-kadang lebih dominan, ini nampak pada pemakaian nama ayah di belakang nama seseorang. Keluarga inti tinggal di rumah sendiri, tetapi pada awal masa perkawinan mereka masih tinggal di rumah orang tua pengantin perempuan. Perkawinan ideal pada masyarakat Baduy adalah perkawinan antarsaudara sepupu, tetapi pengantin laki-laki syaratnya harus anak saudara lelaki tertua (kakak), syarat ini disebut ngorakeun kolot.

Pemimpin masyarakat Baduy secara adat dan spiritual adalah seorang pu’un yang berkedudukan di wilayah kajeroan yang sering pula disebut tangtu atau Baduy Dalam. Orang Baduy nampaknya juga mempunyai pelapisan sosial. Pertama adalah kelompok pu’un dan kerabatnya. Kedua kelompok pembantu pu’un seperti baeresan, tangkesan, jaro tangtu, jaro dangka dan palawari. Ketiga kelompok pemimpin formal seperti lurah dan para pembantunya, jaro pareman (bekas kepala kampung) dan dukun kemudian orang Baduy Panamping dan yang terakhir orang Baduy Dangka.

Orang Baduy menganut agama yang mereka sebut dengan Sunda Wiwitan, yaitu kepercayaan yang mengakui agama Islam, tetapi tidak menjalankan ajarannya sebaliknya, tetap menjalankan kepercayaan dan memegang teguh adat istiadat aslinya. Mereka memuja Batara Tujuh dan roh kakek moyang yang mereka sebut Karuhun atau Wangatua atau para Munggu. Selain itu, juga memuja dewi padi (Pohaci Sanghyang Asri).

c . Suku bangsa Sikka

Suku bangsa Sikka berdiam di daerah antara Lio dan Larantuka, Kabupaten Sikka, daratan Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Nama Sikka kemungkinan berasal dari kerajaan Sikka yang pernah berdiri. Mereka menyebut dirinya dengan Ata Sikka (Orang Sikka). Bahasa mereka sangat dekat dengan bahasa penduduk di Pulau Solor, yaitu sama-sama kelas bahasa Ambon-Timor dari kelompok bahasa Papuan.

Kehidupan ekonomi orang Sikka sangat tergantung kepada perladangan dengan tanaman pokok padi dan jagung, ditambah dengan singkong, sorgum dan ubi jalar manis. Sebagian kecil juga beternak sapi, kambing, kuda, itik, dan ayam. Penduduk yang tinggal dekat pantai bisa pula menangkap ikan, tetapi mereka bukan masyarakat nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil laut.

Pola perkampungan tradisional mereka memanfaatkan daerah perbukitan dan lembah yang strategis untuk keamanan, kampung tradisional tersebut memusat pada sebuah batu altar persembahan yang disebut mahe. Dalam kampung terdapat sebuah rumah adat yang disebut woga, yaitu semacam rumah bujang tempat upacara-upacara adat dan keagamaan, seperti tradisi bersunat. Sekarang sebagian sudah membuat pemukiman dengan pola mengikuti alur jalan raya dan ditandai oleh sebuah bangunan gereja sebagai pusat keagamaan warga.

Masyarakat Sikka Barat cenderung menganut hubungan patrilineal, sedangkan orang Sikka Timur lebih fleksibel dengan kekerabatan ambilinealnya, di mana anak-anak mengikuti garis keturunan dari kelompok keluarga luas ke mana orang tua mereka menetap. Orang Sikka sangat mengutamakan keluarga luas. Orang Sikka Barat menyebutnya dengan nama ku’at atau ku’at wungung, dan orang Sikka Timur menamainya dengan suku.

Agama Katolik sudah masuk ke dalam masyarakat Sikka sejak zaman raja-raja Sikka dulu, sehingga kehidupan seremonial sudah sejak lama pula diwarnai oleh ritus Katolik. Religi tradisional orang Sikka adalah kepercayaan kepada dewa-dewa. Dewa utama adalah pasangan Lero Wulang dan Niang Tana, yaitu simbol bulan-matahari dan bumi. Selain itu ada pula dewa-dewa yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan kematian. Ritus religi lama yang mengharuskan setiap remaja lelaki disunat sudah tidak ada lagi sejak Ritus Katolik mereka terima sepenuhnya.

B. Pengaruh Budaya Asing

Coba kalian amati budaya yang berkembang di lingkungan sekitar kalian sekarang ini. Apakah budaya tersebut benar-benar asli dari daerah tempat tinggal kalian atau sudah tercampur dengan pengaruh budaya asing? Dalam benak kalian tentunya timbul pertanyaan, mengapa budaya asing yang berasal dari luar dapat berkembang di lingkungan sekitar tempat tinggal kalian?

Ada fakta yang selalu membuat penasaran para Antropolog, yaitu terdapat kemiripan atau persamaan dari beberapa ciri kebudayaan dari berbagai masyarakat di seluruh dunia. Para Antropolog menemukan bahwa ada persamaan unsur-unsur kebudayaan masyarakat Indonesia dengan kebudayaan masyarakat lainnya diberbagai belahan dunia. Fakta budaya ini melahirkan beberapa teori dalam Antropologi.

Persoalan utama yang harus dijawab adalah bagaimanakah terjadinya persamaan unsur-unsur kebudayaan masyarakat Indonesia dengan masyarakat lainnya di berbagai tempat di dunia ini? Jawabannya dapat kita peroleh dengan mempelajari teori-teori difusi kebudayaan.

Menurut Wahyudiarto (2005:37) “ilmu paleoantropologi memperkirakan bahwa makhluk manusia terjadi di suatu daerah tertentu di muka bumi, yaitu daerah Sabana Tropikal di Afrika Timur”. Dari daerah ini manusia menyebar ke seluruh muka bumi. Penyebaran manusia terjadi dalam waktu yang sangat lama akibat dari pertumbuhan penduduk, migrasi serta adaptasi fisik dan sosial budaya. Menurut Koentjaraningrat (1999:151-152) “penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia diikuti oleh penyebaran berbagai unsur kebudayaan yang disebut dengan proses difusi”. Atas dasar teori ini, sekarang kita dapat memberi jawaban atas pertanyaan “apa penyebab terdapatnya kesamaan unsur-unsur kebudayaan pada berbagai masyarakat di dunia termasuk masyarakat Indonesia?” Jawabannya adalah persamaan unsur-unsur kebudayaan disebabkan adanya penyebaran kebudayaan dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya, adanya penyebaran kebudayaan dari masyarakat asing ke masyarakat Indonesia, atau sbaliknya.

1. Pengaruh Budaya Hindu

Tanda-tanda tertua dari adanya pengaruh kebudayaan Hindu di Indonesia ditemukan di Jawa Barat dekat kota Jakarta sekarang, atau di pedalaman daerah sungai Cisadane dekat kota Bogor sekarang. Batu-batu bertulisan juga ditemukan di daerah Muara Kaman, Kutai, pantai Kalimantan Timur. Dari bentuk dan gaya huruf tulisan pada batu disebut huruf Palawa, diperkirakan dibuat pada abad ke-4 Masehi.

Menurut para ahli Sejarah Purbakala Indonesia, kerajaan-kerajaan yang disebut dalam tulisan-tulisan pada batu-batu tadi merupakan kerajaan-kerajaan Indonesia asli, yang hidup makmur berdasarkan perdagangan dengan negara-negara di India Selatan. Raja-rajanya mengadopsi konsep-konsep Hindu dengan cara mengundang ahli-ahli dan orang-orang pandai dari golongan Brahmana (Pendeta) di India selatan yang bernama Wisnu dan Brahma.

Para ahli dan orang pandai tadi diminta untuk memberi nasehat mengenai struktur dan upacara-upacara kenegaraan menurut sistem negara-negara di India Selatan. Dengan demikian, pengaruh kebudayaan Hindu beserta kesusastraan Hindu masuk ke dalam kebudayaan Indonesia, tetapi hanya dalam lapisan-lapisan dan lingkungan masyarakat teratas, yakni lapisan dan lingkungan masyarakat istana.

Pada zamannya, kebudayaan Hindu mempunyai kekuatan dan pengaruh besar dan serupa dengan teknologi Barat pada zaman sekarang ini, merembet dan memengaruhi kehidupan hampir semua bangsa-bangsa di dunia. Kebudayaan intelektual dari agama Hindu sangat memengaruhi dunia Asia Tenggara pada zaman dulu. Hal ini nampak pada konsepsi mengenai susunan negara yang amat hierarkis dengan aneka bagianbagiannya yang digolongkan ke dalam empat atau delapan bagian besar yang bersifat sederajat dan yang tersusun simetris. Semua golongan dan fraksi diorientasikan ke atas ialah sang raja, yang dianggap keturunan dewa, yang bersifat keramat, yang merupakan puncak dari segala hal dalam negara dan yang merupakan pusat dari alam semesta. Konsepsi ini diterapkan sepenuhnya oleh negara-negara kerajaan Indonesia yang terletak di pedalaman yang ekonominya berdasarkan sistem pertanian padi dengan irigasi di sawah-sawah. Kemudian diterapkan sebagian oleh kerajaan-kerajaan nusantara yang terletak di pantai atau di pesisir yang ekonominya berdasarkan perdagangan maritim dengan armada-armada perdagangan yang menyeberangi laut sampai jauh. Hal ini terjadi pada negara Kutai di pantai Timur Kalimantan dan Sriwijaya di Palembang atau di pertengahan sungai Kampar Sumatra Tengah atau mungkin juga di kota Jambi sekarang.

Negara Mataram Kuno, negara Kediri, negara Singosari dan negara Majapahit pada dasarnya merupakan negara agraris, terletak di daerah subur, di lembah-lembah sungai yang dikelilingi oleh gunung berapi dan rakyatnya hidup dari bercocok tanam padi di sawah. Di negara seperti inilah konsepsi Hindu mengenai raja keturunan dewa diserap sepenuhnya ke dalam kebudayaan pribumi dan berkembang biak dengan berbagai bentuk penjelmaannya sendiri-sendiri. Negara Majapahitlah yang paling jaya dalam pertengahan abad ke-14, akibat dari surplus produksi pertanian yang dialihkan ke sektor perdagangan yang menyebabkan ekspansi ke tempat-tempat pantai yang strategis di seluruh nusantara serta ke arah barat sampai di beberapa tempat di Vietnam Selatan dan ke arah timur sampai di beberapa tempat di bagian barat Irian Jaya atau Papua (Koentjaraningrat, 1999:23).

2. Pengaruh Budaya Islam

Seiring dengan mundurnya wibawa kerajaan Majapahit pada akhir abad ke-14 dan selama abad 15, kekuasaan maritimnya juga tidak bisa lagi menduduki daerah-daerah strategis di seluruh nusantara. Terjadi kekosongan kekuasaan di beberapa kota pantai di Jawa pada khususnya. Situasi dan kondisi ini membuat para pedagang makmur yang bermukim di kota-kota pelabuhan menjalin hubungan perdagangan secara sendiri-sendiri dengan pedagang asing untuk kepentingan sendiri-sendiri dan pada akhirnya tumbuh menjadi negara-negara pantai yang dapat merongrong kekuasaan Majapahit di pedalaman. Timbul negara Malaka di semenanjung Melayu, negara Aceh di ujung utara Sumatra, negara Banten di Jawa Barat dan negara Demak di pantai Utara Jawa Tengah serta negara Goa di Sulawesi Selatan.

Dalam proses perkembangan negara-negara tersebut terjalin hubungan perdagangan antara pedagang-pedagang Indonesia dengan pedagang dari Persia dan Gujarat di India Selatan yang membawa kebudayaan Islam yang pada waktu itu mengandung banyak unsur-unsur mistik. Untuk tahap pertama, agama Islam yang berkembang di Indonesia masih diwarnai unsur-unsur mistik, yang kemudian disebarkan oleh Nurudin Araniri di Sumatera atau Syech Siti Jenar di Jawa. Agama Islam yang seperti itu jugalah yang disebarkan oleh penyiar-penyiar yang kemudian di dalam folklore orang Jawa disebut wali dan di dalam kepercayaan rakyat dianggap sebagai orang keramat. Kegiatan para wali inilah yang kemudian menyebabkan tersebarnya agama Islam, tidak hanya di pantai Jawa Utara, melainkan juga di daerah pedalaman.

Agama Islam yang lebih murni sifatnya datang kemudian sebagai gelombang pengaruh kedua setelah banyak orang Indonesia mengunjungi Mekah dan Madinah serta kembali dari naik haji. Di daerah-daerah yang belum amat terpengaruh oleh kebudayaan Hindu, agama Islam mempunyai pengaruh yang mendalam dalam kehidupan penduduk di daerah yang bersangkutan, seperti Aceh, Banten, Pantai Utara Jawa dan Sulawesi Selatan. Sebaliknya, di daerah-daerah dengan pengaruh kuat kebudayaan Hindu telah berkembang suatu corak tersendiri seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur, agama Islam dirubah menjadi suatu agama yang dikenal dengan nama agama Jawa. Adapun orang-orang yang menganut ajaran-ajaran dan syariah agama Islam secara taat disebut dalam bahasa Jawa orang Islam santri.

3. Pengaruh Budaya Eropa

Pengaruh kebudayaan Eropa di nusantara berawal dari kegiatan perdagangan Portugis pada pertengahan abad ke-16, sesudah negara Portugal menaklukkan pelabuhan negara Malaka yang sangat strategis sebagai pintu masuk laut nusantara dari arah barat pada tahun 1511. Kedatangan orang Portugis diikuti oleh orang-orang Eropa lainnya, seperti orang Belanda, orang Spanyol dan orang Inggris. Tujuannya sama, yaitu melakukan perdagangan rempah-rempah. Orang Belanda lah yang paling berhasil dalam usaha perdagangan itu dengan perusahaan dagangnya yang dikenal dengan VOC yang kemudian memaksakan monopoli perdagangan rempah-rempah.

Pada akhir abad ke 18, perusahaan perdagangan Belanda, VOC mengalami kemunduran dan dinyatakan bangkrut pada tahun 1799. Semua miliknya di Indonesia diambil alih oleh kerajaan Belanda dan dengan demikian Indonesia menjadi daerah jajahan Belanda. Kerajaan Belanda terus-menerus berupaya untuk menguasai seluruh wilayah nusantara. Usaha tersebut baru berhasil pada tahun 1903 dengan dikuasainya daerah Aceh setelah berperang selama 30 tahun. Pusat-pusat kekuasaan pemerintahan Belanda merupakan kota-kota pemerintahan seperti kota provinsi, kota kabupaten, dan kota distrik. Kota-kota itu selain berbeda dalam hal besar kecilnya, pada umumnya mempunyai pola yang sama. Pusat kota merupakan suatu lapangan (alun-alun) yang dikelilingi oleh gedung-gedung penting, seperti rumah dan kantor kepala kota, masjid, penjara, rumah gadai dan beberapa kantor lainnya. Kemudian ada kampung Cina yang berupa toko-toko barang kelontong, pasar, dan beberapa pertukangan dan industri kecil yang memberi pelayanan kepada penduduk kota.

Analogi Budaya 1 :

Coba kembangkan etos kerja dan orientasi kecakapan pada diri kalian Kalian tentunya sering mengkonsumsi berbagai hasil budaya Barat. Coba diskusikan dengan teman-teman kalian pengaruh apa saja yang saat ini sedang melanda kalangan remaja yang berasal dari budaya Barat dan bersifat negatif. Kemudian berikan solusi yang tepat untuk mengatasinya.

Dalam kota-kota pusat pemerintahan itu berkembanglah dua lapisan sosial. Lapisan pertama adalah kaum buruh yang telah meninggalkan pekerjaan sebagai petani dan yang bekerja dengan tangan dalam berbagai lapangan pertukangan sebagai pelayan di rumah tangga, seorang pegawai atau pedagang-pedagang Tionghoa, atau sebagai buruh dalam perusahaan dan industri kecil. Lapisan kedua adalah kaum pegawai (di Jawa yang disebut kaum priyayi), yang bekerja di belakang meja tulis. Pendidikan Barat di sekolah-sekolah Belanda dan kemahiran dalam bahasa Belanda menjadi syarat untuk dapat masuk dalam masyarakat lapisan kedua ini.

Melalui perkembangan sistem pendidikan sekolah-sekolah Belanda, pengaruh kebudayaan Eropa masuk ke dalam kebudayaan Indonesia. Salah satu pengaruh yang sangat positif adalah ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan orang Indonesia. Walaupun sampai sekarang apresiasi terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi masih terbatas pada suatu kelompok masyarakat, tetapi muncul kesadaran pada masyarakat Indonesia terhadap pentingnya hal itu terhadap kemajuan yang dicita-citakan. Akhirnya harus disebut juga, pengaruh budaya Eropa membawa turut serta masuknya agama Katolik dan agama Kristen Protestan ke masyarakat Indonesia. Agama-agama tersebut biasanya disiarkan dengan sengaja oleh organisasi-organisasi penyiar agama (missie untuk agama Katolik dan zending untuk agama Kristen Protestan) yang semuanya bersifat swasta. Penyiaran dilakukan terutama di daerah-daerah dengan penduduk yang belum mengalami pengaruh agama Hindu dan Budha, atau yang belum memeluk agama Islam. Daerah-daerah itu di antaranya adalah Irian Jaya atau Papua, Maluku Tengah dan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Bagian timur dan pedalaman Kalimantan.

Jadi yang perlu kalian perhatikan mengenai pengaruh budaya asing adalah dampak positif dan negatifnya.Jika masuknya pengaruh budaya asing tersebut memberikan peningkatan dan kemajuan bagi kehidupan masyarakat maka dikatakan bersifat positif. Contoh pengaruh budaya asing yang positif antara lain sebagai berikut.

a. Nilai-nilai positif dalam kehidupan bermasyarakat seperti adanya kesadaran tentang pentingnya pendidikan.
b. Perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat berguna untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat. Sedangkan jika masuknya pengaruh budaya asing tersebut memberikan dampak yang tidak baik bagi kehidupan masyarakat maka dikatakan bersifat negatif.

Beberapa contoh pengaruh budaya asing yang negatif antara lain sebagai berikut.

a. Masuknya nilai-nilai budaya asing yang negatif seperti budaya permisif dan pragmatisme sehingga banyak yang bergaya hidup hedonis dan serba instan.
b. Keberadaan adat istiadat dan budaya bangsa dapat terancam.
c. Semangat kegotongroyongan terkikis oleh budaya egoisme dan individualisme.
d. Menurunnya moral bangsa yang ditandai dengan munculnya berbagai aksi kejahatan yang meniru atau pengaruh dari budaya asing.

Investigasi Budaya 3 :

Coba kembangkan etos kerja dan rasa keingintahuan serta orientasi kecakapan pada diri kalian

Maraknya budaya asing yang masuk sebenarnya dapat menambah dan memperkaya khasanah kebudayaan yang ada dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Tetapi seringkali terjadi budaya asing tersebut menimbulkan dampak yang negatif. Coba kalian lakukan pengamatan mengapa sering terjadi benturan atau perbedaan antara budaya kita dengan budaya asing? Berikan pendapat dan solusi yang tepat berdasarkan hasil pengamatan di lingkungan daerah kalian masing-masing!

C. Hubungan AntarBudaya

Hubungan antarbudaya telah terjadi sejak zaman dahulu kala. Banyak penyebab terjadinya hubungan antarbudaya. Ketika kerajaan asli Indonesia mengundang orang-orang pandai dari golongan Brahmana (Pendeta) yang beragama Wisnu dan Brahma untuk memberi konsultasi dan nasehat mengenai struktur upacara-upacara kenegaraan menurut sistem negaranegara di India Selatan, mereka juga dengan sendirinya membawa serta budaya Hindu yang pada masa itu mendominasi kebudayaan umat manusia. Terjadilah hubungan antarbudaya asli bangsa Indonesia dengan budaya Hindu.

Ikatan kerja sama perdagangan antara pedagang-pedagang Indonesia dengan pedagang asing seperti pedagang Persia dan Gujarat dengan sendirinya menyebabkan terjadinya hubungan antarbudaya, yaitu antara budaya bangsa Indonesia dengan budaya yang dibawa oleh para pedagang Persia dan Gujarat, yaitu agama Islam. Beberapa orang Indonesia kemudian naik haji ke Mekah dan sepulang dari sana berusaha menyiarkan dan menerapkan ajaran agama Islam yang lebih murni. Hingga tidak mengherankan apabila masyarakat Indonesia sangat kental dengan budaya Islam.

Kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia untuk urusan perdagangan rempah-rempah juga menyebabkan hubungan antarbudaya, yaitu antara budaya Eropa dengan budaya masyarakat Indonesia. Belanda memang bukan bangsa Eropa yang pertama datang ke Indonesia, tetapi merekalah yang paling berhasil menguasai perdagangan di nusantara. Mereka membentuk VOC. Kebangkrutan VOC membuat masuknya pemerintahan Belanda dan pada akhirnya Belanda menjajah Indonesia. Dalam proses perdagangan dan penjajahan itu, Belanda memperkenalkan budayanya kepada bangsa Indonesia, baik melalui lembaga pendidikan yang sangat terbatas maupun melalui Pastur dan Pendeta yang melakukan missie dan zending untuk menyiarkan agama Katolik dan Kristen Protestan. Tidak mengherankan juga apabila beberapa daerah di Indonesia sangat akrab dan kental dengan budaya bernuansa agama Katolik dan Kristen Protestan.

Hubungan antarbudaya terus terjadi sampai saat ini. Hubungan itu semakin meluas dan cepat. Hubungan antarbudaya semakin meluas karena hubungan itu tidak lagi terjadi pada hanya golongan elit masyarakat, tetapi sudah melibatkan seluruh lapisan masyarakat pada semua aspek lehidupan manusia. Hubungan antarbudaya terjadi dengan cepat karena hubungan itu terjadi setiap detik dan waktu akibat dari ditemukannya teknologi, transportasi, dan komunikasi yang menumbuhkan media massa dan media elektronik seperti radio, televisi, VCD, dan sebagainya.

Hubungan antarbudaya yang terjadi semakin cepat dan merasuk pada seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia menyebabkan perkembangan dan pertumbuhan budaya masyarakat Indonesia. Bermula dari gaya hidup agraris beralih ke gaya hidup priyayi hingga buruh serta usaha sendiri dan mandiri (wiraswasta) pada berbagai aspek kehidupan. Berawal dari rumah dan bangunan sederhana, beralih ke rumah dinding tembok dan gedung-gedung megah berukuran besar. Berawal dari sedikit aliran, sekarang sudah menjadi banyak aliran dalam setiap agama yang dianut dan berkembang di Indonesia. Dari tidak mengenal makanan siap saji menjadi bangsa yang sangat menyukai makanan siap saji. Dari orang yang tidak mengenal dunia menjadi orang yang mengenal dunia. Tidaklah mengherankan apabila kita menemui adanya persamaan unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat di dunia ini.

Investigasi Budaya 4 :

Coba kembangkan etos kerja dan orientasi kecakapan hidup pada diri kalian!

Coba kalian lakukan penelusuran ke masa lalu! Dari budaya masyarakat manakah datangnya gaya hidup berkomunikasi melalui telepon? Kemudian coba kalian praktekkan sendiri cara bertelepon dan mengakses internet!

1. Akulturasi

Hubungan antarbudaya menjadi salah satu pusat studi antropologi dan melahirkan teori akulturasi (acculturation atau culture contact). Menurut Wahyudiarto (2005: 37) istilah akulturasi mempunyai berbagai arti di antara para sarjana antropologi, tetapi semua sepaham bahwa konsep itu mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.

Proses akulturasi sudah terjadi sejak zaman dahulu. Seiring dengan perkembangan zaman, pada saat ini melalui akulturasi hampir semua suku bangsa di dunia dipengaruhi oleh unsur-unsur kebudayaan Eropa dan Amerika, hal ini semakin dipermudah oleh kebutuhan setiap negara di dunia untuk melakukan modernisasi yang selalu merujuk kepada negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Setidaknya ada lima hal yang harus
diperhatikan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai proses akulturasi, yaitu:

a. Keadaan sebelum proses akulturasi.
b. Para individu pembawa unsur-unsur kebudayaan asing.
c. Saluran-saluran yang dilalui oleh unsur-unsur kebudayaan asing untuk masuk ke dalam kebudayaan penerima.
d. Bagian-bagian dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh.
e. Reaksi para individu yang terkena unsur-unsur kebudayaan asing.
(Koentjaraningrat, 1999).

Keadaan sebelum proses akulturasi berhubungan dengan budaya asli bangsa Indonesia sebelum dipengaruhi oleh budaya asing. Bagaimana budaya asli bangsa Indonesia sebelum datangnya budaya Hindu, Islam dan Eropa? Tentu hidup dengan religi tradisionalnya, tidak begitu mengenal stratifikasi sosial, dan sebagainya. Individu pembawa unsur-unsur kebudayaan asing berhubungan dengan agents of acculturation. Contohnya adalah pada pedagang yang membawa unsur kebudayaan berupa berbagai jenis barang, cara berdagang, di samping kepercayaan dan agama yang dianutnya. Para pastur dan pendeta penyiar agama Katolik dan Kristen Protestan juga membawa unsur kebudayaan berupa penyuluhan kesehatan, pendidikan sekolah, dan berbagai unsur-unsur kebudayaan Eropa lainnya. Bagian-bagian dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh akulturasi berhubungan dengan lapisan masyarakat yang menerima akulturasi, bisa seluruh lapisan masyarakat, tetapi bisa juga hanya sebagian dari lapisan masyarakat. Reaksi individu yang terkena akulturasi terdiri dari individu yang menerima dan individu yang menolak budaya asing. Bagi individu yang menerima, tentu gaya hidupnya akan dipengaruhi oleh hasil akultutasi itu, tetapi individu yang menolak akan mencari pelarian dari akulturasi, di antaranya mendalami gerakan kebatinan, mereka melarikan diri dari kenyataan dengan berbagai cara dan memimpikan kembalinya suatu zaman bahagia.

2. Asimilasi

Asimilasi merupakan teori yang berupaya menjelaskan hubungan antarbudaya dan berbeda dengan akulturasi. Menurut Wahyudiarto (2005 : 39), asimilasi adalah proses sosial yang timbul apabila:
  1. Golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda.
  2. Saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga.
  3. Kebudayaan-kebudayaan golongan tadi masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.
Pada umumnya proses asimilasi terjadi antara suatu golongan mayoritas dan golongan minoritas. Pada situasi dan kondisi seperti itu, biasanya golongan minoritas yang berubah dan menyesuaikan diri dengan golongan mayoritas, sehingga sifat-sifat khas dari kebudayaannya lambat laun berubah dan menyatu dengan kebudayaan golongan mayoritas. Keberhasilan asimilasi sangat didukung oleh toleransi dan simpati antarkedua golongan.

Untuk mengingatkan kalian kembali dan meningkatkan kemampuan kalian dalam memahami pembahasan tentang hubungan antarbudaya kerjakanlah latihan berikut ini.

Analogi Budaya 2 :

Coba kembangkan wawasan kebinekaan dan orientasi kecakapan pada diri kalian!

Coba diskusikan dengan teman-teman kalian dan berikan solusi kalian mengenai pengaruh budaya asing dan hubungan antarbudaya akhir-akhir ini dalam era globalisasi serta dampakdampaknya yang muncul terhadap integrasi nasional. Setelah itu coba kalian lakukan suatu kegiatan dengan teman-teman kalian yang dapat menangkal dan mencegah pengaruh budaya asing yang negatif di kalangan remaja.

Ingatkah kalian dengan asas negara Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika 'berbeda-beda tetapi tetap satu'? Hal ini merupakan perwujudan akan keberagaman budaya di Indonesia yang sejak dahulu telah ada. Perbedaan agama, ras, suku bangsa, maupun etnis merupakan gambaran dari wajah masyarakat Indonesia yang sesungguhnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberagaman ini merupakan sebuah kekayaan bangsa yang harus dilestarikan dan dijaga sehingga tidak menimbulkan ancaman bagi kehidupan berbangsa dan beragama.

Pola-pola perilaku yang dikembangkan dalam masing-masing budaya juga mengalami perbedaan dan keberagaman yang tidak sama. Ini merupakan sebuah potensi besar bagi sumber kekayaan bangsa Indonesia sehingga keaslian budaya lokal harus dijaga sebagai nilai-nilai dasar dalam berperilaku. Potensi kekayaan budaya Indonesia ini kemudian dirangkum dalam sebuah pandangan yang sama tentang kebudayaan nasional yang diatur dalam UUD 1945 pasal 32 yang berbunyi "Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia". Ini merupakan wujud komitmen bangsa Indonesia dalam memberikan penghargaan dan eksistensi bagi semua kebudayaan yang berkembang dan hidup di Indonesia.

D. Kebudayaan Nasional Indonesia

Sejak Indonesia menjadi negara merdeka pada tahun 1945, cita-cita besar menjadi landasan dan semangat perjuangan dan mempunyai implikasi sosial dan kebudayaan yang luas serta mendalam dalam kemajemukan dengan keanekaragaman kebudayaannya. Kehidupan masyarakat Indonesia tersebar di Kepulauan Nusantara yang hidup dalam kelompok-kelompok perkampungan, kesukuan, kebahasaan, keagamaan dan ras yang masing-masing berdiri sendiri. Dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, keanekaragaman tersebut meleburkan diri dan membentuk satu kelompok sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat bangsa. Untuk mempersatukan masyarakat tersebut diperlukan adanya kesepakatan dan pengembangan suatu sistem ideologi yang mengikat seluruh rakyat Indonesia dalam bentuk cita-cita dan nilai budaya tertentu.

Kesadaran itu dituangkan dalam UUD 1945, pasal 32 yang berbunyi: "Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia". Beranekaragamnya masyarakat Indonesia yang terwujud dalam sejumlah suku bangsa yang merupakan masyarakat yang berdiri sendiri haruslah diperkokoh dalam satu pedoman yang bersifat nasional yaitu konsep kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional adalah suatu kebudayaan yang mampu memberi makna bagi kehidupan berbangsa dan berkepribadian, yang dapat dibanggakan sebagai identitas nasional.

Dengan kemajemukan dan latar belakang budaya yang berbeda tersebut maka sangat sulit bagi pemerintah untuk mengembangkan kebudayaan nasional sehingga diperlukan sebuah landasan yang cukup kuat selain aturan dalam pasal 32 UUD 1945 yaitu melalui penjelasannya yang berbunyi:

"Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan- kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat mengembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia".

Oleh karena itu, sangat penting artinya bagi perkembangan masyarakat bangsa yang memerhatikan keberagaman kebudayaan nasional. Ada empat ketentuan arah dan tujuan pengembangan kebudayaan nasional Indonesia.
  1. Kebudayaan nasional merupakan perwujudan hasil upaya dan tanggapan aktif masyarakat Indonesia dalam proses adaptasi terhadap lingkungannya dalam arti luas.
  2. Kebudayaan nasional merupakan perpaduan puncak-puncak kebudayaan daerah, sehingga mewujudkan konfigurasi budaya bangsa.
  3. Pengembangan kebudayaan nasional itu harus menuju ke arah kemajuan adab yang dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
  4. Tidak menutup kemungkinan untuk menyerap unsur-unsur kebudayaan asing yang dapat mengembangkan dan memperkaya kebudayaan nasional, serta mempertinggi kemanusiaan bangsa Indonesia.
Dalam mengembangkan kebudayaan tersebut tidak bisa dihindari bahwa penyerapan unsur kebudayaan asing mampu memberikan percepatan dalam proses perkembangan kebudayaan yang bersangkutan. Oleh karena itu, cepat atau lambatnya perkembangan suatu kebudayaan lebih banyak dipacu oleh kontak-kontak kebudayaan. Melalui kontak-kontak kebudayaan itulah akan terbawa serta pemikiran, pola-pola tingkah laku, serta teknologi yang sesuai dengan tingkat kebutuhan serta minat masyarakat yang bersangkutan.

Analogi Budaya 3:

Coba kembangkan etos kerja dan orientasi kecakapan pada diri kalian

Di kalangan remaja akhir-akhir ini ada kecenderungan sikap yang lebih senang dan bangga terhadap budaya yang berasal dari luar. Coba diskusikan dengan teman-teman kalian dan berikan solusi yang tepat supaya genarasi remaja dapat lebih menyenangi dan bangga dengan kebudayaan nasional. Kemudian coba kalian lakukan kegiatan yang mengandung unsur kebudayaan nasional, misalnya dalam bidang seni.

E. Indonesia Sebagai Masyarakat Majemuk

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa ciri masyarakat Indonesia adalah sebagai masyarakat majemuk yang memiliki keanekaragaman yang tinggi. Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh heterogenitas etnik yang bersifat unik. Secara horisontal ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat, dan ras. Secara vertikal ditandai oleh adanya perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah.

Indonesia sebagai sebuah masyarakat majemuk adalah sebuah masyarakat negara yang terdiri atas masyarakat-masyarakat suku bangsa yang dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional dari masyarakat negara tersebut. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini penekanan keanekaragaman adalah pada suku bangsa dan kebudayaan suku bangsa.

Dalam masyarakat Indonesia, setiap masyarakat suku bangsa secara turun temurun mempunyai dan menempati wilayah tempat hidupnya yang diakui sebagai hak ulayatnya yang merupakan tempat sumber-sumber daya di mana warga masyarakat suku bangsa tersebut memanfaatkan untuk kelangsungan hidup mereka. Masyarakat majemuk seperti Indonesia, bukan hanya beranekaragam corak kesukubangsaan dan kebudayaan suku bangsanya secara horisontal, tetapi juga secara vertikal atau jenjang menurut kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosialpolitiknya.

Menurut Furnivall yang dikutip oleh Hidayah (1999) masyarakat majemuk (plural society) merupakan suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen dan tatanan sosial yang hidup berdampingan tetapi tidak terintegrasi dalam satu kesatuan politik. Adapun menurut Van de Berghe yang dikutip oleh Hidayah (1999) ciri-ciri sebuah masyarakat yang dikatakan sebagai masyarakat majemuk adalah:
  1. Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki kebudayaan, atau lebih tepat sub kebudayaan, yang berbeda satu sama lain,
  2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer,
  3. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar,
  4. Secara relatif seringkali terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan yang lainnya,
  5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, dan
  6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.
Menurut Clifford Geertz yang dikutip oleh Hidayah (1999:X-XI), aneka ragam kebudayaan yang berkembang di Indonesia dapat dibagi menjadi dua tipe berdasarkan ekosistemnya, yaitu:

1. Kebudayaan yang berkembang di "Indonesia dalam" (Jawa, Bali) 

Kebudayaan yang berkembang di "Indonesia dalam" ditandai oleh tingginya intensitas pengolahan tanah secara teratur dan telah menggunakan sistem pengairan dan menghasilkan pangan padi yang ditanam di sawah. Dengan demikian, kebudayaan di Jawa yang menggunakan tenaga kerja manusia dalam jumlah besar disertai peralatan yang relatif lebih kompleks itu merupakan perwujudan upaya manusia yang secara lebih berani merubah ekosistemnya untuk kepentingan masyarakat yang bersangkutan.

2. Kebudayaan yang berkembang di "Indonesia luar" (di luar pulau Jawa dan Bali)

Kebudayaan di luar Jawa, kecuali di sekitar Danau Toba, dataran tinggi Sumatra Barat dan Sulawesi Barat Daya, berkembang atas dasar pertanian perladangan yang ditandai dengan jarangnya penduduk yang pada umumnya baru beranjak dari kebiasaan hidup berburu ke arah hidup bertani. Oleh karena itu, mereka cenderung untuk menyesuaikan diri mereka dengan ekosistem yang ada, demi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan, kebudayaan pantai yang diwarnai kebudayaan alam, dan kebudayaan masyarakat peladang serta pemburu yang masih sering berpindah tempat. Adapun yang dimaksud dengan kebudayaan masyarakat petani berpengairan adalah seperti yang berkembang di Pulau Jawa dan Bali.

3. Aneka ragam kebudayaan yang tidak termasuk ke dalam dua ketergori terdahulu.

H. Geertz yang dikutip oleh Hidayah (1999:XI) melengkapi dua ketergori di atas dengan katergori ketiga, yaitu aneka ragam kebudayaan yang tidak termasuk ke dalam dua ketegori terdahulu. Kategori ketiga ini meliputi kebudayaan orang Toraja di Sulawesi Selatan, orang Dayak di pedalaman Kalimantan, orang Halmahera, suku-suku di pedalaman Seram, di kepulauan Nusa Tenggara, orang Gayo di Aceh, orang Rejang di Bengkulu dan Lampung di Sumatra Selatan. Pada umumnya kebudayaan mereka itu berkembang di atas sistem pencaharian perladangan ataupun penanam padi di ladang, sagu, jagung maupun akar-akaran.

Pada zaman Hindia-Belanda masyarakat Indonesia digolongkan menjadi tiga golongan yaitu golongan penjajah Belanda yang menempati tingkat pertama, kedua adalah golongan minoritas Cina, dan ketiga adalah golongan pribumi. Hasil penelitian C. Van Vollenhoven menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 19 lingkungan adat yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang kemudian diperbaharui oleh B. Ter Haar menjadi 24 lingkungan adat. Di seluruh Indonesia tercatat kurang lebih ada 656 suku bangsa dengan bahasa lokal sekitar 300 macam.

Nasikun mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pluralisme masyarakat Indonesia:
  1. Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia atas 13.667 pulau yang terserak di suatu daerah ekuator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke barat dan lebih dari 1.000 mil dari utara ke selatan. Faktor ini merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap terciptanya pluralistis suku bangsa di Indonesia.
  2. Kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara Samudera Indonesia dan Samudera pasifik. Kenyataan letak yang demikian ini sangat mempengaruhi terciptanya pluralistis agama di dalam masyarakat Indonesia melalui pengaruh kebudayaan bangsa lain, yang menyentuh masyarakat Indonesia.
  3. Iklim yang berbeda dan struktur tanah yang tidak sama di antara berbagai daerah di kepulauan nusantara ini merupakan faktor yang menciptakan pluralistis regional di Indonesia. Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang dapat menciptakan lingkungan ekologis yang berbeda di Indonesia, yakni daerah pertanian sawah (wet rice cultivation). Perbedaan antara Jawa dan luar Jawa di dalam bidang kependudukan, ekonomi dan sosial budaya. (Kusumah, 1999:718)
Berbagai kenyataan di atas melahirkan struktur sosial yang bersifat horisontal dan vertikal yang sangat kompleks pada masyarakat Indonesia. Sangat rasional sekali bila Indonesia selalu menghadapi permasalahan konflik antaretnik, kesenjangan sosial, dan sukar sekali terjadinya integrasi secara permanen. Hambatan demikian semakin nampak dengan jelas, jika diferensiasi sosial berdasarkan ukuran suku bangsa bersinggungan dengan ukuran lain seperti agama, kelas, ekonomi, dan bahasa. Diferensiasi sosial yang melingkupi struktur sosial kemajemukan masyarakat Indonesia adalah:
  1. Diferensiasi yang disebabkan oleh perbedaan adat istiadat (custome differentiation) hal ini karena perbedaan etnik, budaya, agama, dan bahasa.
  2. Diferensiasi yang disebabkan oleh struktural (structural differentiation), hal ini disebabkan oleh kemampuan untuk mengakses ekonomi dan politik sehingga menyebabkan kesenjangan sosial di antara etnik yang berbeda.
Menurut Josselin de Jong, yang dikutip oleh Hidayah (1999:XII-XIII) keberagaman budaya yang tersebar di Indonesia memiliki landasan pemikiran, yaitu:
  1. Bahwa pada masa lampau masyarakat Indonesia itu terdiri dari beberapa persekutuan yang berlandaskan ikatan kekerabatan yang menganut garis keturunan secara unilineal, baik melalui keibuan
  2. maupun kebapakan.
  3. Di antara persekutuan kekerabatan itu terjalin hubungan kawin secara tetap, sehingga terjelma tata hubungan yang mendudukkan kelompok kerabat pemberi pengantin wanita lebih tinggi daripada kedudukan kelompok kerabat yang menerima pengantin wanita.
  4. Seluruh kelompok kekerabatan yang ada biasanya terbagi dalam dua puluh masyarakat yang dikenal dengan istilah antropologis "Moiety" yang satu sama lain ada dalam hubungan saling bermusuhan maupun dalam berkawan, sehingga nampaknya persaingan yang diatur oleh adat.
  5. Keanggotaan setiap individu, karenanya bersifat ganda dalam arti bahwa setiap orang bukan hanya menjadi anggota kelompok kerabat yang unilineal, melainkan juga anggota kesatuan paruh masyarakat.
  6. Pembagian masyarakat dalam dua paruh masyarakat itu mempengaruhi pengertian masyarakat terhadap isi semesta ke dalam dua kelompok yang seolah-olah saling mengisi dalam arti serba dua yang dipertentangkan dan sebaliknya juga saling diperlukan adanya.
  7. Akibatnya juga tercermin dalam sistem penilaian dalam masyarakat yang bersangkutan. Ada pihak yang baik dan sebaliknya adapula pihak yang jahat atau buruk.
  8. Seluruh susunan kemasyarakatan itu erat dihubungkan dengan sistem kepercayaan masyarakat yang bersangkutan, terutama yang berkaitan dengan kompleks totemisme yang didominasi dengan upacara-upacara keagamaan dalam bentuk rangkaian upacara inisiasi dan diperkuat dengan dongeng-dongeng suci baik yang berupa kesusastraan ataupun tradisi lisan.
  9. Sifat serba dua juga tercermin dalam tata susunan dewa-dewa yang menjadi pujaan masyarakat yang bersangkutan. Walaupun dikenal lebih dari dua dewa, mereka menggolongkan ke dalam dua golongan dewa baik dan dewa buruk. Dewa yang tergolong buruk biasanya mempunyai sifat ganda karena di satu pihak digambarkan sebagai anggota masyarakat dewa yang mewakili golongan atas dan dipuja.
  10. Tata susunan masyarakat dewa itu ternyata mempengaruhi tata susunan kepemimpinan masyarakat dalam kehidupan politik yang seringkali merupakan pencerminan tentang kepercayaan yang berpangkal pada kehidupan dewata.
Kemajemukan dan heterogenitas masyarakat Indonesia haruslah dikembangkan sebuah model keberagaman budaya sehingga tidak menimbulkan konflik-konflik akibat perbedaan yang ada. Berubahnya cara pikir dalam mengambil kebijaksanaan politik khususnya berkaitan dengan budaya sangat penting untuk menerapkan prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi asas persamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

F. Mewujudkan Masyarakat Multikultural

Orang-orang yang mempelajari Antropologi sangat akrab dengan istilah masyarakat plural (plural society) dan masyarakat multikultural (multicultural society). Apakah kalian dapat membedakan kedua istilah itu? Keduanya berhubungan tetapi memiliki makna yang berbeda. Menurut Furnival yang dikutip oleh Lubis (2006 : 167) "masyarakat plural mengacu pada suatu tatanan masyarakat yang di dalamnya terdapat berbagai unsur masyarakat yang memiliki ciri-ciri budaya yang berbeda yang berbeda satu sama lain". Masyarakat plural adalah masyarakat yang memiliki keanekaragaman budaya, agama dan bahasa.

Menurut Lubis (2006 : 167) hubungan antarbudaya dalam masyarakat plural ditandai oleh corak hubungan dominatif dan diskriminatif. Hubungan dominatif itu berlangsung secara samar melalui proses sejarah yang panjang. Dalam masyarakat plural ditemukan adanya budaya dominan dan budaya inferior. Hal ini diantaranya disebabkan oleh:

1. Faktor Demografis

Kesenjangan jumlah penduduk yang sangat timpang antara pulau Jawa dan luar Jawa. Luas pulau Jawa hanya seperempat dari luas pulau luar pulau Jawa, tetapi 70% penduduk Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa. Karena itu secara demografis penduduk pulau Jawa lebih dominan jika dibandingkan dengan penduduk di luar pulau Jawa.

2. Faktor Politis

Ketidakseimbangan komposisi suku bangsa yang menjabat di pemerintahan melahirkan dominasi etnik tertentu dalam struktur pemerintahan Indonesia. Keadaan ini tanpa disadari melahirkan berbagai kebijakan dari pemerintah pusat yang cenderung tidak adil, sebab seringkali menguntungkan kelompok/golongan tertentu dan menimbulkan ketidakpuasan pada kelompok / golongan lainnya. Kegagalan mengakomodasi kepentingan politik suku bangsa dan tersumbatnya komunikasi politik akan menimbulkan perlawanan yang luar biasa kuatnya dari suku bangsa yang bersangkutan.

3. Budaya Lokal

Pemerintahan RI yang berpusat di pulau Jawa merangsang tumbuhnya kebudayaan lokal menjadi kebudayaan yang dominan. Budaya lokal ini didukung oleh para birokrat pemerintahan yang memiliki pengaruh besar dalam berbagai aspek kehidupan bernegara Indonesia. Ide dan gagasan mereka mendominasi kehidupan perekonomian, pendidikan, politik, sosial budaya serta pertahanan dan keamanan. Hal ini melahirkan ketimpangan antara pulau Jawa dengan luar pulau Jawa dan sangat mengancam integrasi nasional.

Masyarakat plural adalah dasar pembentukan masyarakat multikultural. Pendapat Fay yang diikuti oleh Lubis (2006 : 169) menyatakan "multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan". Atas dasar pengertian ini, Lubis (2006 : 169) menjelaskan masyarakat multikultural sebagai masyarakat di mana di dalamnya terjadi interaksi aktif di antara masyarakat dan budaya yang plural dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai unsur yang ada dalam masyarakat dipandang dan ditempatkan dalam kedudukan yang sejajar dan setara, sehingga dengan demikian tercipta keadilan diantara berbagai unsur / budaya yang berbeda itu. Dalam masyarakat multikultural perbedaan budaya, perbedaan etnis, lokalitas, bahasa, ras, bangsa, dan lain-lain dilihat sebagai mozaik yang memperindah masyarakat.

Sekarang dapatkah kalian membedakan masyarakat plural dengan masyarakat muiltikultural? Masyarakat plural merupakan akar masyarakat multikultural. Prinsip kesederajatan, mengakui dan menghargai perbedaan dikedepankan masyarakat multikultural untuk menghilangkan dominasi suatu budaya yang melahirkan diskriminasi atas budaya lain dalam masyarakat plural. Pierre L. van de Berghe mengemukakan karakteristik masyarakat multikultural, meliputi :
  1. Masyarakat terdiri dari segmentasi dalam bentuk kelompok-kelompok dengan latar belakang budaya dan sub budaya yang berbeda.
  2. Masyarakat memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer.
  3. Kurang memiliki kemauan untuk menemukan konsensus antar anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang fundamental.
  4. Kurangnya kesadaran mengembangkan konsensus relatif, sering mengakibatkan konflik antar kelompok budaya/subbudaya yang ada
  5. Konflik dan integrasi sosial dapat berlangsung justru dengan jalan menggunakan kekuasaan (paksaan) serta rasa saling ketergantungan ekonomi antar satu subkultur / kultur dengan yang lainnya.
  6. Adanya dominasi politik satu kelompok atas kelompok yang lain (Lubis, 2006 : 175).
Acuan utama untuk mewujudkan masyarakat multikultural Indonesia adalah mutikulturalisme. Para pendiri bangsa Indonesia telah menggunakan kulturalisme dalam mendesain kebudayaan nasional. Desain itu dapat dilihat dalam pasal 32 UUD 1945. Ideologi multikulturalisme pada budaya Indonesia ditemukan dalam semboyan bhinneka tunggal ika. Pasal 32 UUD 1945 dan semboyan bhinneka tunggal ika adalah ideologi multikulturalisme masyarakat Indonesia yang melandasi corak struktur budaya masyarakat Indonesia di tingkat nasional dan lokal.

Konsep multikultural tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikultural menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Akar kata dari multikultural adalah kebudayaan.

Kita harus bersedia menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan suku bangsa, agama, budaya, gender, bahasa, kebiasaan, ataupun kedaerahan. Multikultural memberi penegasan, segala perbedaan itu adalah sama di dalam ruang publik. Dengan kata lain, adanya komunitas yang berbeda saja tidak cukup, sebab yang terpenting komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Adanya kesetaraan dalam derajat kemanusiaan yang saling menghormati, diatur oleh hukum yang adil dan beradab yang mendorong kemajuan dan menjamin kesejahteraan hidup warganya.

G. Relativitas Budaya

Menurut Clifford Geertz, meskipun masyarakat Indonesia telah terbentuk sejak 1945 tetapi penduduk multi etnis, multi agama, multi bahasa, dan multi rasial cenderung menelusuri identitasnya pada hal-hal yang asli seperti dari mana mereka berasal dan dibesarkan. Dalam rangka hidup berkelompok, penduduk akan mencari, membentuk atau memasuki organisasi yang anggota-anggotanya berasal dari agama, bahasa, etnik, dan ras yang dianggap sama. Hal yang demikian itu oleh Geertz dilihat sebagai pengelompokan yang keanggotaannya didasari ikatan primordial.

Dalam konteks lokal keindonesiaan, di mana pola perikehidupan beragama sangat beragam dan plural, relativisme budaya merupakan salah satu cara terbaik untuk menuju sikap arif dan bijak dalam melihat perbedaanperbedaan kebudayaan.

Tetapi hal terpenting bahwa dalam keberagaman budaya yang ada di Indonesia ini adalah kita tidak boleh memahami perilaku kelompok lain hanya dengan membandingkan kebiasaan dan perilaku budaya sendiri. Relativisme budaya haruslah dikembangkan dalam memandang keberagaman budaya yang ada di Indonesia. Relativisme budaya mampu menggambarkan kenyataan bahwa fungsi dan arti suatu unsur kebudayaan tergantung pada lingkungan kebudayaan itu berkembang.

Misalnya suku Eskimo yang selalu menggunakan baju tebal karena hidup di kutub yang sangat dingin. Konsep relativisme kebudayaan tidak berarti bahwa semua adat istiadat mempunyai nilai yang sama juga tidak mengetahui bahwa kebiasaan tertentu pasti merugikan. Di beberapa tempat beberapa pola perilaku mungkin merugikan tetapi di tempat tertentu pola semacam itu mungkin mempunyai tujuan dalam kebudayaannya dan masyarakat itu akan menderita tanpa pola semacam itu kecuali ada penggantinya.

Pengertian relativisme budaya adalah tidak ada kriteria untuk menentukan tinggi dan rendahnya, maju dan mundurnya suatu budaya. Berdasarkan konsep relativisme budaya, semua budaya sama baik dan luhurnya, sama hebat dan sama agungnya. Pada dasarnya penilaian budaya harus dilakukan berdasarkan cara pandang budaya itu sendiri.

Budaya sebaiknya jangan dinilai dengan menggunakan tolak ukur budaya lain, karena tidak akan ada kesesuaian antara yang dinilai dengan alat penilaiannya. Sebagai contoh, tolak ukur kedewasaan bagi suku bangsa Nias adalah keberhasilan seorang laki-laki melakukan lompat batu. Hal itu hanya dapat dinilai dari sudut pandang budaya suku bangsa Nias, tidak oleh budaya suku bangsa lain.

Setiap kebudayaan memiliki peradaban. Peradaban memiliki beberapa makna, yaitu hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa dan kebudayaan suatu suku bangsa serta kemajuan lahir batin (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001 : 6). Peradaban sama dengan kebudayaan, apabila peradaban dimaknai sebagai budaya. Dalam hal ini berlaku prinsip relativisme budaya. Peradaban adalah bagian dari kebudayaan, apabila
peradaban dimaknai sebagai sopan santun dan budi bahasa. Dalam hal ini juga berlaku prinsip relativisme budaya. Peradaban adalah bagian dari kebudayaan, apabila peradaban dimaknai sebagai kemajuan yang berhubungan dengan teknologi suatu budaya. Dalam hal ini tidak berlaku prinsip relativisme budaya. Bangsa-bangsa di dunia memiliki peradaban yang berbeda-beda, ada yang tinggi dan ada yang rendah, ada yang maju dan ada yang belum maju, tergantung pada perkembangan teknologi budayanya.

Fokus sentral dalam relativisme budaya adalah bahwa dalam suatu lingkungan budaya tertentu, beberapa unsur kebudayaan adalah benar karena unsur-unsur itu sesuai dengan lingkungan tersebut, sedangkan unsur-unsur lain salah karena unsur tersebut mungkin sangat bertentangan dengan bagian-bagian kebudayaan lain. Dengan kata lain, suatu kebudayaan adalah perpaduan dan berbagai unsur dari kebudayaan haruslah benar-benar serasi apabila unsur-unsur itu diharapkan berfungsi secara efisien untuk memenuhi kebutuhan manusia.

H. Akibat Keberagaman Budaya di Indonesia

Gejala sosial yang tidak terlihat secara nyata di dalam kehidupan seharihari tetapi yang mendasar dan mendalam di dalam kehidupan masyarakat Indonesia dapat dilihat melalui suku bangsa. Melalui suku bangsa inilah sebuah prinsip yang dikembangkan anggotanya mempunyai kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar ataupun dibendung. Hal ini pula yang sering menimbulkan potensi konflik di daerah. Suku bangsa adalah golongan sosial yang dibedakan dari golongan sosial lainnya karena mempunyai ciri-ciri paling mendasar dan umum berkaitan dengan asal usul dan tempat asal serta kebudayaannya. Adapun ciri-ciri suku bangsa adalah:
Secara tertutup berkembang biak dalam kelompoknya.
  1. Memiliki nilai-nilai dasar yang terwujud dan tercermin dalam kebudayaan.
  2. Mewujudkan arena komunikasi dan interaksi.
  3. Mempunyai anggota yang mengenali dirinya serta dikenal oleh orang lain sebagai bagian dari satu kategori yang dibedakan dengan yang lain.
Ketika seseorang yang menjadi bagian dari suku bangsa tertentu mengadakan interaksi maka akan nampak adanya simbol-simbol atau karakter khusus yang digunakan untuk mengekspresikan perilakunya sesuai dengan karakteristik suku bangsanya. Misalnya ciri-ciri fisik atau rasial, gerakan-gerakan tubuh atau muka, ungkapan-ungkapan kebudayaan, nilai-nilai budaya serta keyakinan keagamaan. Seseorang yang dilahirkan dalam keluarga suku bangsa tertentu maka sejak dilahirkannya mau tidak mau harus hidup dengan berpedoman pada kebudayaan suku bangsanya sebagaimana yang digunakan oleh orang tua dan keluarganya dalam merawat dan mendidiknya sehingga menjadi manusia sesuai dengan konsepsi kebudayaannya tersebut.

Sadar atau tidak sadar masyarakat suku bangsa ini mengembangkan ikatan-ikatan yang bersifat primordial, yaitu pemikiran yang mengutamakan atau menonjolkan kepentingan suatu kelompok atau komunitas tertentu dalam hal ini tentu saja kelompoknya sendiri. Karena itu kebudayaan suku bangsa, bagi anggota-anggota suku bangsa yang bersangkutan, adalah sebuah pedoman bagi kehidupan yang primordial atau yang pertama dipelajari dan diyakini kebenarannya serta yang utama di dalam kehidupan mereka, atau sudah mendarah daging dalam kehidupan mereka.

Kemudian yang terjadi kemudian adalah munculnya pandangan etnosentrisme yaitu suatu pandangan yang menyebutkan bahwa kelompoknya adalah pusat segalanya dan semua kelompok yang lain dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompok tadi. Dengan mengatakan bahwa suku bangsa sendirilah yang paling baik merupakan pandangan etnosentrisme. Menurut kalian apakah etnosentrisme ini baik atau buruk? Etnosentrisme merupakan pengembangan sifat yang mampu meningkatkan nasionalisme dan patriotisme suatu bangsa tertentu. Tanpa etnosentrisme maka kesadaran nasional untuk mempertahankan suatu bangsa dan meningkatkan integrasi bangsa akan sangat sulit dicapai. Selain itu dengan etnosentrisme juga mampu menghalangi perubahan yang datang dari luar baik yang akan menghancurkan kebudayaan sendiri maupun yang mampu mendukung tujuan masyarakat suku bangsa tersebut. Masih sulit memang mengatakan bahwa etnosentrisme ini baik atau buruk. Bagaimana menurut kalian? Apakah pengembangan sikap etnosentrisme ini adalah sikap yang perlu diambil oleh penduduk suku bangsa?

I. Alternatif Penyelesaian Akibat Keberagaman Budaya Melalui Interaksi Lintas Budaya

Setiap suku bangsa memiliki budaya yang unik dan khas. Bangsa Indonesia terdiri dari ratusan (364 - 656) suku bangsa. Perihal suku bangsa, Fredrich Barth menjelaskan; "kategori kesukuan (etnisitas) sebagai klasifikasi orang-orang dalam konteks 'identitas umum yang paling dasar (basic most general identity),' yang ditentukan oleh asal dan latar belakang orang-orang itu. Atribut penting yang pada dasarnya mengidentifikasi etnisitas ini ialah faktor-faktor primordial seperti bahasa daerah, adat istiadat, nilai-nilai simbolik, agama dan teritorial. (Herimanto, 2001 : 21)

Setiap suku bangsa memiliki identitas umum yang paling dasar yang membentuk kesamaan antara orang-orang dalam satu suku bangsa. Identitas umum itu juga membentuk perbedaan dengan orang-orang di luar suku bangsanya. Identitas umum yang paling dasar itu membentuk dan terlihat dari budaya suku bangsa yang khas dan unik. Bila setiap suku bangsa di Indonesia memiliki budaya sendiri, kalian dapat bayangkan di Indonesia terdapat banyak sekali budaya, berkisar antara 364 sampai dengan 656 budaya suku bangsa. Kalian akan sampai pada kesimpulan, di Indonesia sudah pasti terdapat keberagaman budaya.

Setiap kelompok sosial, apapun perwujudannya, telah mengembangkan pola-pola interaksi yang membaku, sehingga dapat menjamin ketertiban interaksi sesama warga. Persoalan timbul ketika individu-individu itu bertemu dengan individu dari kelompok lain yang tidak jelas kedudukan sosial atau identitas dirinya. Pada banyak komunitas adat yang ketat membedakan antarwarga dengan bukan warga, kehadiran orang asing itu terpaksa dilalui dengan upacara adopsi untuk mempermudah perlakuan, kecuali kalau yang bersangkutan akan tetap diperlakukan sebagai orang luar atau hendak diperlakukan sebagai musuh.

Hal ini tercermin antara lain dalam upacara penyambutan pejabat dari pusat di daerah Tapanuli di masa lampau. Para tamu itu biasanya disambut dengan upacara yang memperjelas kedudukannya dalam struktur sosial masyarakat Batak yang terikat dalam hubungan perkawinan tiga marga (dalihan na tolu). Pada komunitas perang Dani di pegungungan Jayawijaya, di luar kelompok kerabat patrilineal, hubungan periparan antarmereka berasal dari kelompok sosial yang berlainan sangat kuat karena itu, untuk mempermudah perlakuan terhadap orang "asing", upacara kelahiran kembali biasanya dilakukan terhadap tamu yang dihormati, untuk menentukan pola-pola perlakuan yang layak dan efektif. Bahkan di masa lampau, untuk membenarkan kewenangan Gubernur Jenderal Van Imhoff, sebagai wakil ratu Belanda, yang mengundang raja Jawa sebagai penguasa tertinggi di Mataram, terpaksa diperlakukan sebagai Kanjeng Eyang Paduka tuan Gubernur Jenderal yang menunjukkan senioritas dalam kekerabatan.

Sesungguhnya walaupun sebagai makhluk sosial manusia itu cenderung untuk hidup berkelompok, akan tetapi ia tidak mungkin menghindarkan diri dari pergaulan lintas kelompok dalam mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Manusia itu merupakan makhluk yang paling tinggi mobilitasnya dan sejak awal kehadirannya di muka bumi. Terdorong oleh kebutuhan hidup yang tidak mungkin dipenuhi dalam lingkungan sendiri, ataupun karena dorongan keingintahuan mencari pengalaman baru, mereka seringkali melakukan perjalanan dan terlibat dalam interaksi sosial lintas budaya itu sendiri.

Sebagaimana halnya dengan kebutuhan akan identitas individu dalam penataan kehidupan bermasyarakat, setiap kelompok sosial juga memerlukan identitas kolektif (group identity) sebagai sarana penataan sosial (organizing reference) untuk mempermudah pergaulan lintas kelompok sosial. Berbagai identitas kelompok dikembangkan untuk memperkuat kesadaran kolektif (peoplehood), antara lain kelompok suku bangsa (ethnic group) yang dilandasi oleh keyakinan akan asal-usul nenek moyang bersama, baik yang nyata maupun fiktif, serta kesamaan pengalaman sosial dan kebudayaan yang mengikat kesetiakawanan sosial. Kesadaran menjadi anggota kelompok itu menjamin rasa aman atau setidak-tidaknya kenyamanan bagi yang bersangkutan.

Untuk memelihara kesetiakawanan sosial kelompok suku bangsa, biasanya mereka mengembangkan simbol-simbol yang selain diyakini kebenarannya, juga mudah dikenal, seperti bahasa, adat istiadat dan agama. Walaupun tidak setiap kelompok suku bangsa mempunyai bahasa yang berbeda dengan kelompok lain, akan tetapi sesungguhnya ia lebih mengutamakan simbol-simbol yang membedakan dengan bahasa lainnya daripada kenyataan yang sesungguhnya dipergunakan oleh segenap anggotanya. Contoh nyata adalah orang Batak yang telah memeluk agama Islam, walaupun mereka masih menggunakan bahasa Batak dalam pergaulan sehari-hari, mereka cenderung untuk mengaku sebagai orang Melayu dengan membuang nama marganya. Sebaliknya orang-orang Dayak yang memeluk agama Islam cenderung membuang identitas kesukubangsaannya. Suku bangsa dayak menggunakan bahasa Melayu dalam pergaulan sehari-hari.

Agama seringkali digunakan sebagai identitas kelompok suku bangsa yang esensial, seperti orang Melayu dan orang Betawi. Akan tetapi orang Jawa biasa beragama Islam, Budha maupun Nasrani. Demikian pula adat istiadat, seperti gaya hidup, makanan, pakaian dan bentuk perumahan, seringkali digunakan sebagai simbol kesukubangsaan yang membedakan dengan kelompok suku bangsa yang lain. Akan tetapi sesungguhnya di samping perbedaan yang memang makin nyata, seringkali lebih banyak persamaannya, terutama di antara suku-suku bangsa yang berdekatan wilayah dan terlibat dalam interaksi sosial yang intensif. Sebaliknya dalam satu suku bangsa yang besar, bisa berkembang berbagai adat istiadat yang berbeda, seperti antara orang Solo dengan Yogyakarta.

Betapapun masing-masing suku bangsa merasa bahwa mereka memiliki simbol-simbol tertentu yang diyakini perbedaannya dengan simbol-simbol suku bangsa lainnya, dan berfungsi sebagai media sosial yang memperkuat kesetiakawanan sosial mereka. Walaupun demikian, sesungguhnya kesetiakawanan sosial antarsesama warga dalam suatu suku bangsa itu tidak sekuat kesetiakawanan yang terbentuk dalam kelompokkelompok sosial yang lebih kecil dan mempunyai profesi yang sama sebagai koorperasi (coporate group) jauh di luar lingkungan pemukiman asalnya.

Tidak jarang terjadi interaksi sosial lintas budaya yang tidak imbang, sehingga menimbulkan kesan adanya dominasi suatu suku bangsa dan kebudayaan tertentu atas suku bangsa ataupun golongan sosial dan kebudayaan-kebudayaan lainnya. Sejarah membuktikan betapa ambisi para penguasa untuk memperluas pengaruh ke luar lingkungan kesukubangsaan maupun kebudayaannya telah memperkaya bentuk dan ragam pola-pola interaksi lintas budaya di masa lampau yang meninggalkan bekas-bekas yang positif maupun negatif.

Keputusan untuk memberlakukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi itu bukan hanya mengukuhkan media sosial yang diperlukan untuk memperlancar interaksi lintas budaya dalam masyarakat majemuk, melainkan juga mematahkan salah satu lambang arogansi sosial. Jasa lain yang tidak boleh diabaikan adalah pembentukan organisasi rukun tetangga sebagai komunitas lokal yang mempersatukan segenap warganya tanpa memandang asal usul kesukubangsaan, golongan maupun latar belakang kebudayaannya. Konsep ketegangan inilah yang selanjutnya akan memainkan peranan penting dalam menciptakan arena sosial yang dapat menjamin kebutuhan akan rasa aman warganya, bebas dari kecurigaan dan prasangka kesukubangsaan, golongan maupun perbedaan kebudayaan. Sesungguhnya, di samping kesamaan ideologi, bahasa dan ketetanggaan sebagai suatu kesatuan sosial yang nyata merupakan media sosial yang dapat diandalkan dalam membangun interaksi lintas budaya pada masyarakat perkotaan yang heterogen penduduknya.

Kalian telah memahami tentang pluralitas masyarakat Indonesia sebagai akibat sejarah dan faktor alam. Berbagai kebudayaan muncul dan berkembang pesat di Indonesia sehingga menuntut semakin besarnya pengaruh budaya dalam kehidupan bermasyarakat. Berbagai potensi kebudayaan lokal yang berkembang disatukan dengan suatu konsep kebudayaan nasional sehingga diharapkan lokalitas dan karateristik suatu budaya tertentu tetap diakui eksistensinya.

Persoalan dalam keberagaman budaya adalah munculnya berbagai konflik antarsuku bangsa, agama, status sosial ekonomi, dan lain-lain. Ini merupakan suatu persoalan yang memerlukan sebuah pemikiran bagaimana mengakomodasi antarbudaya tersebut dapat berlangsung dengan adil. Berbagai upaya dalam mempersatukan kebudayaan yang ada di lokal memang sulit. Di bab sebelumnya kalian telah mempelajari sebuah alternatif penyelesaian dalam mengatasi konflik antarsaudara ini melalui pendidikan multikulturalisme. 

Sebagai sebuah paham yang mengedepankan hak asasi manusia, persamaan di semua bidang merupakan satu upaya yang harus dilakukan. Sangat sulit memang untuk mencegah terjadinya konflik yang berkepanjangan karena masing-masing kebudayaan mempunyai tujuan atau pola hidup yang berbeda. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pluralitas bangsa Indonesia merupakan suatu fakta yang harus dihadapi bersama dengan pengembangan sikap toleransi dan empati agar eksistensi budaya lokal tetap lestari dan terjaga.

J. Sikap Dalam Menanggapi Keberagaman Budaya

Dengan berbagai persoalan keberagaman budaya tersebut memunculkan sebuah pemahaman baru tentang budaya daerah yang mempunyai ciri khas dan karateristik sendiri yang berbeda dengan yang lain sehingga perlu dipertahankan. Yang terjadi kemudian adalah munculnya pandangan etnosentrisme yaitu suatu pandangan yang menyebutkan bahwa kelompoknya adalah pusat segalanya dan semua kelompok yang lain dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompok tadi. Dengan mengatakan bahwa suku bangsa sendirilah yang paling baik merupakan pandangan etnosentrisme. Etnosentrisme merupakan pengembangan sifat yang mampu meningkatkan nasionalisme dan patriotisme suatu bangsa tertentu. Tanpa etnosentrisme maka meningkatkan integrasi bangsa akan sangat sulit dicapai. Selain itu dengan etnosentrisme juga mampu menghalangi perubahan yang datang dari luar baik yang akan menghancurkan kebudayaan sendiri maupun yang mampu mendukung tujuan masyarakat suku bangsa tersebut. Masih sulit memang mengatakan bahwa etnosentrisme ini baik atau buruk.

Bagaimana menurut kalian? Apakah pengembangan sikap etnosentrisme ini adalah sikap yang perlu di ambil oleh penduduk suku bangsa?

Tetapi hal terpenting bahwa dalam keberagaman budaya yang ada di Indonesia ini adalah kita tidak boleh memahami perilaku kelompok lain hanya dengan membandingkan kebiasaan dan perilaku budaya sendiri. Relativisme budaya haruslah dikembangkan dalam memandang keberagaman budaya yang ada di Indonesia. Relativisme budaya mampu menggambarkan kenyataan bahwa fungsi dan arti suatu unsur kebudayaan tergantung pada lingkungan kebudayaan itu berkembang.

Misalnya suku Eskimo yang selalu menggunakan baju tebal karena hidup di kutub yang sangat dingin. Konsep relativisme kebudayaan tidak berarti bahwa semua adat istiadat mempunyai nilai yang sama juga tidak mengetahui bahwa kebiasaan tertentu pasti merugikan. Di beberapa tempat beberapa pola perilaku mungkin merugikan tetapi di tempat lain pola semacam itu mungkin mempunyai tujuan dalam kebudayaannya dan masyarakat itu akan menderita tanpa pola semacam itu kecuali ada penggantinya. Dalam konteks lokal ke-Indonesiaan, di mana pola perikehidupan beragama sangat beragam dan plural maka relativisme budaya merupakan salah satu cara terbaik untuk menuju sikap arif dan bijak dalam melihat perbedaan-perbedaan kebudayaan.

Analogi Budaya 4 :

Coba kembangkan etos kerja dan orientasi kecakapan pada diri kalian

Maraknya konflik di masyarakat yang bermuatan SARA sering terjadi akhir-akhir ini. Coba diskusikan dengan teman-teman kalian apa faktor penyebabnya serta bagaimana solusi yang terbaik untuk mengatasinya. Coba kalian lakukan kegiatan yang dapat meningkatkan integrasi nasional. Misalnya memberi bantuan daerah lain yang terkena musibah banjir atau gempa bumi.

K. Pengembangan Sikap Toleransi dan Empati Sosial Terhadap Keberagaman Budaya di Indonesia

Telah diketahui bersama bahwa para pendiri Indonesia sejak awal telah menyadari keberagaman budaya sehingga penting untuk mengembangkan kerangka nilai atau etos budaya sehingga mampu mempersatukan masyarakat Indonesia dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesadaran itu dituangkan dalam UUD 1945, pasal 32 yang berbunyi Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Hal ini diperkuat lagi dalam butir penjelasannya yang menyebutkan bahwa:

"Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat mengembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia".

Berdasarkan penjelasan tersebut, nyatalah bahwa perkembangan kebudayaan bangsa yang hendak dimajukan itu tidak mungkin dibiarkan terselenggara tanpa memperhatikan keberagaman masyarakat dengan segala kebutuhan yang timbul dalam proses perkembangan masyarakat bangsa.

Kita harus bersedia menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan suku bangsa, agama, budaya, gender, bahasa, kebiasaan, ataupun kedaerahan. Adanya kesetaraan dalam derajat kemanusiaan yang saling menghormati, diatur oleh hukum yang adil dan beradab yang mendorong kemajuan dan menjamin kesejahteraan hidup warganya.

Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan hanya mungkin terwujud dalam praktik nyata dengan adanya pranata sosial, terutama pranata hukum yang merupakan mekanisme kontrol secara ketat dan adil dalam mendukung dan mendorong terwujudnya prinsip demokrasi dalam kehidupan nyata. Masyarakat Indonesia harus memiliki toleransi terhadap perbedaan dalam bentuk apapun. Diskriminasi sosial, politik, budaya, pendidikan dan ekonomi secara bertahap harus dihilangkan untuk menegakkan demokrasi demi kesejajaran dalam kesederajatan kemanusiaan sebagai bangsa Indonesia.

Pada banyak komunitas adat yang ketat membedakan antarwarga dengan bukan warga, kehadiran orang asing itu terpaksa dilalui dengan upacara adopsi untuk mempermudah perlakuan, kecuali kalau yang bersangkutan akan tetap diperlakukan sebagai orang luar atau hendak diperlakukan sebagai musuh. Hal ini tercermin antara lain dalam upacara penyambutan pejabat dari pusat di daerah Tapanuli di masa lampau. Para tamu itu biasanya disambut dengan upacara yang memperjelas kedudukannya dalam struktur sosial masyarakat Batak yang terikat dalam hubungan perkawinan tiga marga (dalihan na tolu). Pada komunitas perang Dani di pegunungan Jayawijaya, di luar kelompok kerabat patrilineal, hubungan periparan antarmereka berasal dari kelompok sosial yang berlainan sangat kuat, karena itu untuk mempermudah perlakuan terhadap orang "asing", upacara kelahiran kembali biasanya dilakukan terhadap tamu yang dihormati, untuk menentukan pola-pola perlakuan yang layak dan efektif. Bahkan di masa lampau, untuk membenarkan kewenangan Gubernur Jenderal Van Imhoff, sebagai wakil ratu Belanda, yang mengundang raja Jawa sebagai penguasa tertinggi di Mataram, terpaksa diperlakukan sebagai Kanjeng Eyang Paduka Tuan Gubernur Jenderal yang menunjukkan senioritas dalam kekerabatan.

Untuk memelihara kesetiakawanan sosial kelompok suku bangsa itu biasanya mengembangkan simbol-simbol yang selain diyakini kebenarannya, juga mudah dikenal, seperti bahasa, adat istiadat dan agama. Walaupun tidak setiap kelompok suku bangsa mempunyai bahasa yang berbeda dengan kelompok lain, akan tetapi sesungguhnya lebih mengutamakan simbol-simbol yang membedakan dengan bahasa lainnya daripada kenyataan yang sesungguhnya dipergunakan oleh segenap anggotanya. Betapapun masing-masing suku bangsa merasa bahwa mereka memiliki simbol-simbol tertentu yang diyakini perbedaannya dengan simbol-simbol suku bangsa lainnya, dan berfungsi sebagai media sosial yang memperkuat kesetiakawanan sosial mereka.

Selain itu banyak di antara suku-suku bangsa dan golongan sosial yang terlibat dalam interaksi lintas budaya secara serasi dan bahkan melahirkan suku-suku bangsa baru sebagai hasil amalgamasi ataupun asimilasi. Salah satu bentuk amalgamasi yang melahirkan suku bangsa baru adalah yang terjadi di Batavia. Penduduk setempat yang berdatangan dari berbagai tempat dengan keanekaragaman latar belakang kebudayaan mereka itu berhasil mempersatukan diri sebagai orang Betawi yang dipimpin oleh Muhammad Husni Thamrin pada tahun 1923. Masing-masing kelompok suku bangsa maupun golongan yang ada menanggalkan simbol-simbol kesukubangsaan mereka dan kemudian mengembangkan simbol-simbol kesukubangsaan baru yaitu agama Islam sebagai media sosial yang memperkuat kesetiakawanan sosial.

Jepang yang berusaha memenangkan simpati dari rakyat Indonesia, terutama dengan memaksakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi maupun dalam pergaulan sosial sehari-hari. Pengaruh kebijaksanaan tersebut sangat besar artinya dalam pengembangan budaya yang mencerminkan kesetaraan pada masyarakat Indonesia selanjutnya.

Keputusan untuk memberlakukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi itu bukan hanya mengukuhkan media sosial yang diperlukan melainkan juga mematahkan salah satu lambang arogansi sosial. Jasa lain yang tidak boleh diabaikan adalah pembentukan organisasi rukun tetangga (RT) sebagai komunitas lokal yang mempersatukan segenap warganya tanpa memandang asal usul kesukubangsaan, golongan maupun latar belakang kebudayaannya. Konsep ketetanggaan inilah yang selanjutnya akan memainkan peranan penting dalam menciptakan arena sosial yang dapat menjamin kebutuhan akan rasa aman warganya, bebas dari kecurigaan dan prasangka kesukubangsaan, golongan maupun perbedaan kebudayaan.

Sementara itu kebebasan berkreasi perlu ditegakkan untuk memberdayakan masyarakat majemuk Indonesia yang mempunyai keanekaragaman kebudayaan. Dengan kebebasan berkreasi itu bukan hanya masyarakat Indonesia akan meningkat kemampuannya untuk bersaing dalam era globalisasi, melainkan juga dapat menghindarkan kecenderungan dominasi suku-suku bangsa dan kebudayaan-kebudayaan Indonesia lainnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan betapa sesungguhnya proyek pencetakan sejuta hektar sawah lahan gambut yang telah dibatalkan itu sesungguhnya dapat menjurus ke arah dominasi kebudayaan petani sawah dari Jawa yang dipaksakan kepada orang Dayak dan kebudayaannya yang dianggap kurang sesuai dengan arah pembangunan.

Selain itu pengembangan model pendidikan yang menggunakan wacana multikultural sangat diperlukan untuk menanamkan nilai-nilai pluralitas bangsa. Sikap simpati, toleransi dan empati akan tertanam kuat karena melalui pendidikan multikultural ini masyarakat menyadari adanya perbedaan sekaligus mengantarkan pada penghayatan nilai-nilai kebersamaan sebagai dasar dan pandangan hidup bersama. Pendidikan multikultural mampu mempertahankan simbol-simbol kebudayaan yang ada di tanah air sehingga masa depan bangsa akan berjalan sesuai karakter dan jati diri bangsa. Perlunya pengakuan kebudayan Indonesia yang tinggi dibanding kebudayaan asing lainnya merupakan simbol yang seharusnya dibangun untuk memperkokoh jati diri dan kepribadian bangsa. Seiring dengan perkembangan globalisasi dunia, pendidikan multikultural sangat penting untuk memperkenalkan nilai-nilai budaya lokal yang tidak kalah menariknya dengan budaya kapitalisme yang ditawarkan di media-media massa.

Rangkuman

Di Indonesia terdapat beragam budaya yang berbeda-beda. Melalui sebuah wacana kebudayaan nasional yang mengedepankan eksistensi budaya lokal merupakan salah satu usaha untuk menghargai perbedaan budaya yang ada. Melalui kebudayaan nasional inilah budaya lokalitas tetap tumbuh dan berkembang sebagai sebuah ciri khas masyarakat Indonesia. Salah satu solusi yang mampu memberikan pemahaman keberagaman dan persamaan dalam mengembangan budaya lokal yaitu pendidikan multikultural yang memandang semua budaya lokal sama tidak adanya kelompok dominan maupun kelompok inferior sehingga terbangun sebuah jembatan komunikasi yang mampu meredam disintegrasi bangsa.

Hal ini tertuang dalam pasal 32 yang menyebutkan tentang pemerintah Indonesia memajukan kebudayaan nasional. Ini merupakan sebuah komitmen besar bangsa Indonesia untuk tetap memberikan penghargaan dan eksistensi kebudayaan daerah yang masih ada. Berbagai kemajemukan ini memerlukan sebuah alternatif penyelesaian agar ke depan tidak akan menimbulkan sebuah persoalan baru seperti konflik antar suku. Oleh karena itu suatu usulan pengembangan dalam kemajemukan Indonesia adalah melalui multikultural yang memandang kesederajatan dan kesamaan terhadap kebudayaan daerah. Prinsip-prinsip penegakan pengakuaan persamaan kebudayaan menjadi sangat penting untuk mengelola perkembangan budaya daerah untuk tetap menjadi ciri khas masyarakatnya.

Sebagai negara yang terdiri dari berbagai elemen budaya yang berbeda memunculkan berbagai konflik dan ketegangan karena adanya berbagai perbedaan dalam segala hal seperti bahasa, kepercayaan, perilaku maupun ras. Ini memang menjadi tantangan dan tanggungjawab pemerintah Indonesia untuk mengembangkan konsep relativisme budaya yaitu persamaan dalam memandang kebudayaan sehingga mampu meminimalisir konflik.

Anda sekarang sudah mengetahui Budaya.  Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Referensi :

Hidayah, Z. 1999. Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia.

Koentjaraningrat. 1999. Pengantar Ilmu ANtropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Lubis, A.Y. 2006. Dekontruksi Epistemologi Modern, Dari Posmodernisme Teori Kritis Poskolonialisme Hingga Cultur Science. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.

Supriyanto. 2009. Antropologi Kontekstual : Untuk SMA dan MA Program Bahasa Kelas XI. Pusat Perbukuan Departemen Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 193.

Kusumah, S. dkk. 1999. PKn dan Kemasyarakatan. Universitas Terbuka Bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktoratt Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis, Bagian Proyek Penataran Guru SLTP setara DIII.

Wahyudiarto, W. 2005. Kapita Selekta Budaya. Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Indonesia.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar

Powered By Blogger