Kebudayaan dan Antropologi : Konsep, Pengertian, Inti, Perwujudan, Pentingnya, Kontribusi

Bookmark and Share
Artikel dan Makalah tentang Kebudayaan dan Antropologi : Pengertian, Inti, Perwujudan, Pentingnya, Kontribusi - Apakah sesungguhnya kebudayaan itu? Sampai saat ini banyak sekali definisi mengenai konsep kebudayaan tersebut. Namun demikian, pada intinya definisi-definisi tersebut tidak jauh berbeda. Kebudayaan yang terdapat di seluruh permukaan bumi adalah hasil budidaya manusia. Kebudayaan tersebut muncul karena manusia saling berinteraksi. Interaksi antarmanusia tersebut lalu membentuk suatu komunitas sosial. Dari komunitas sosial tersebut lalu terciptalah berbagai pola tindakan yang akhirnya membentuk suatu kebudayaan. Hari Poerwanto mengatakan bahwa culture (bahasa Inggris) dan colere (bahasa Latin) jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah kebudayaan. Namun, secara lengkap kebudayaan memiliki definisi yang lebih dalam. Melalui buku Kebudayaan dan Lingkungan dalam Persepektif Antropologi, Hari Poerwanto menjelaskan banyak hal mengenai kebudayaan. Demikian halnya dengan Koentjaraningrat banyak menjelaskan kebudayaan di dalam bukunya Pengantar Antropologi.

Kebudayaan memiliki definisi yang beragam. Banyak ahli yang mencoba membuat definisi kebudayaan tersebut. Penekanannya terletak pada manusia menjalani kehidupan dengan berbagai cara dan tercermin di dalam kehidupan mereka melalui pola tindakan (action) dan kelakuan (behavior).

a. Koentjaraningrat mengatakan bahwa beberapa pakar antropologi terkenal seperti C.C. Wissler (1916), C. Kluckhohn (1941), A. Davis, atau A. Hoebel menjelaskan bahwa tindakan kebudayaan adalah suatu learned behavior, yakni suatu hasil budidaya berupa kebiasaan yang di dapat melalui proses belajar. Jadi, manusia di dalam kehidupannya selalu melakukan tindakan belajar untuk menjalani kehidupannya. Kebiasaan belajar tersebut dilakukan terus secara berkelanjutan hingga manusia mampu menjalani kehidupannya dengan segala proses pembelajaran tersebut.
Kebudayaan didapat dari proses pembelajaran.
Gambar 1. Kebudayaan didapat dari proses pembelajaran. (ppm.stmik-dci.ac.id)
b. Koentjaraningrat berikutnya menjelaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Lebih lanjut beliau merinci bahwa kata ”kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah. Buddhayah adalah bentuk jamak dari buddhi. Buddhi memiliki arti budi atau akal. Di dalam antropologi–budaya, budaya dan kebudayaan memiliki makna yang sama. Budaya hanyalah suatu bentuk singkat dari kata kebudayaan. Namun demikian, menurut sosiologi ada perbedaan antara budaya dan kebudayaan. ”Budaya” adalah suatu daya dari budi berupa cipta, karsa, dan rasa. Adapun kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa tersebut.

c. E.B. Tylor (1881) melalui Hari Poerwanto mengatakan bahwa melihat suatu kebudayaan adalah melihat perubahan budaya berdasarkan atas teori evolusi. Menurutnya, kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat, dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

d. C. Kluckhohn (1952) melalui Hari Poerwanto mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku, baik eksplisit maupun implisit yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi.

e. Linton (1936) dan A.L. Kroeber (1948) melalui Hari Poerwanto mengatakan bahwa melihat kebudayaan melalui pemikiran historical particularism, budaya, dan personalitas. Dalam bukunya The Study of Man (1936), Linton mengatakan bahwa di dalam kehidupan ada dua hal penting, yakni:

1) Inti Kebudayaan (Cover Culture)

Inti kebudayaan terdiri atas:

a) Sistem nilai-nilai budaya.
b) Keyakinan-keyakinan keagamaan yang dianggap keramat.
c) Adat yang dipelajari sejak dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat.
d) Adat yang memiliki fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat.

2) Perwujudan Lahir Kebudayaan (Overt Culture)

Perwujudan lahir kebudayaan adalah bentuk fisik suatu kebudayaan, misalnya alat-alat dan benda-benda yang berguna. Covert Culture adalah bagian kebudayaan yang sulit diganti dengan kebudayaan asing atau lambat mengalami perubahaan. Malinowski (1945) melalui Hari Poerwanto dikatakan bahwa melihat kebudayaan dengan sudut pandang structural functionalism. Pada structuralism functionalism, Malinowski berupaya melihat fungsi kebudayaan berikut fungsi unsur-unsur kebudayaan. Kesenian berfungsi memberi penghiburan dan pelepas ketegangan, keluarga berfungsi sebagai pemberi rasa aman dan mesra, juga pelanjut keturunan. Setiap unsur kebudayaan memiliki fungsi yang saling terkait.

g. Levi Strauss (1972) melihat kebudayaan dengan sudut pandang structuralism. Structuralism adalah sudut pandang melihat kebudayaan dengan memeriksa struktur-struktur yang ada di dalam kebudayaan berikut perulangan-perulangan yang muncul di dalam kebudayaan. Dari kategorisasi dan perulangan, lalu dapat dilihat struktur dalam suatu kebudayaan berupa pemikiran di bawah sadar suatu suku bangsa. Bangsa Korea memiliki bendera dengan struktur lima simbol.

Di dalam kehidupannya pun, kebudayaan Korea banyak sekali menggunakan lima jenis. Makanan sesaji tradisionial disajikan dengan lima jenis makanan dalam satu tempat, lima warna dalam satu tempat, dan lain sebagainya.

h. Lucman (1979) melalui Hari Poerwanto dikatakan bahwa melihat kebudayaan dengan sudut pandang ethnometodology. Kebudayaan dilihat melalui kacamata ilmu suku bangsa.

3) Pendapat Prof. Dr. Koentjaraningrat tentang Antropologi dan Kebudayaan

Nama Koentjaraningrat tidak bisa kita pisahkan saat berbicara tentang kebudayaan dan antropologi. Beliau adalah pendiri jurusan antropologi Universitas Indonesia dan perintis jurusan yang sama di tujuh universitas di Indonesia. Mari kita ikuti bagaimana pendapatnya tentang antropologi, kebudayaan daerah, dan kebudayaan nasional berikut ini (diolah dari Kompas, 23 Januari 1991).

a. Tentang peran antropologi bagi negara Indonesia:

Janganlah mendeskriminasi, janganlah menganggap kebudayaan sendiri sebagai yang paling tinggi dibandingkan kebudayaan yang lain. Jangan menganggap kebudayaan Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan kebudayaan Irian misalnya. Belum tentu. Itu kan pandangan subjektif menurut seseorang. Tetapi Irian juga memiliki kebudayaan sendiri, dengan segenap kekuatannya. Apa kekuatannya, itulah tugas antropologi.

b. Tentang temuan terpentingnya mengenai bangsa Indonesia:

Saya sejak tahun 1970-an banyak meneliti orientasi nilai budaya atau mentalitas budaya, dengan membandingkan hal ini pada setiap suku bangsa. Ini penting sekali, misalkan saja pengetahuan ini bisa diterapkan dalam menjalankan prinsip-prinsip menejemen. Dalam setiap kebudayaan di setiap suku bangsa ada mentalitas-mentalitas yang cocok sekali untuk suatu pekerjaan tertentu.

c. Tentang kontribusi antropologi untuk pembangunan bangsa:

Jelas ada, misalkan pendekatan seperti apa yang paling pas untuk mengelola sebuah bangsa dengan multietnis seperti kita ini. Kita terdiri dari banyak suku bangsa dengan kebudayaan yang beragam, bahasa berbeda, agama tak sama. Bagaimana orang-orang semacam ini bisa hidup bersama, misalkan dalam sebuah komunitas yang kecil mereka bisa seiya sekata.

d. Tentang persoalan krusial yang dihadapi bangsa masa kini dan masa depan:

Jangan sekali-kali membesarkan perbedaan, memandang rendah suku bangsa lain. Kadang-kadang kita secara tak sadar melakukan itu, merendahkan suku bangsa lain. Misalnya satu suku bangsa disebut primitif dan suku bangsa lainnya dinilai adiluhung.

e. Tentang disiplin bangsa:

Disiplin itu persoalan ketaatan. Orang Indonesia, terutama Jawa sebetulnya cukup taat. Pada orang Jawa, anak yang paling terpuji adalah anak yang taat, manut. Dalam kenyataannya, juga banyak orang Indonesia seperti itu. Tapi ketaatan itu sebetulnya jika ada orang yang ditakuti. Tetapi jika mulai masuk ke hal-hal yang abstrak, yakni bukan orang yang mengawasi, di situlah disiplin kita mulai digerogoti.

f. Tentang penetrasi budaya di era globalisasi:

Ikutlah dengan budaya global sebagai partisipan yang tidak hanya pasif tapi aktif. Kebudayaan Indonesia kita ikut sertakan di dalamnya. Kita punya karya-karya unggul yang juga bisa menjadi bagian dari kebudayaan dunia. Misalnya saat menyebut tekstil langsung identik dengan Indonesia, seperti saat menyebut kosmetika langsung teringat Prancis.

Anda sekarang sudah mengetahui Kebudayaan. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Referensi :

Dyastriningrum. 2009. Antropologi : Kelas XI : Untuk SMA dan MA Program Bahasa. Pusat Perbukuan Departemen Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 90.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar

Powered By Blogger