Bahasa dan Dialek : Pengertian, Kesamaan, Keanekaragaman, Perbedaan, Fungsi, Tradisi Lisan, Mitos, Legenda, Dongeng

Bookmark and Share
Artikel dan Makalah tentang Bahasa dan Dialek : Pengertian, Kesamaan, Keanekaragaman, Perbedaan, Fungsi, Tradisi Lisan, Mitos, Legenda, Dongeng - Ada berapa bahasa yang sudah kalian kuasai sekarang? tentunya sangat menarik sekali jika kalian dapat menguasai lebih dari satu bahasa. Kalian akan dapat berkomunikasi secara lancar dengan berbagai orang yang berlatar belakang budaya dan bahasa yang berbeda dengan kalian. Kalian dalam segala aktivitas sehari-hari pasti menggunakan bahasa. Saat keluarga berkumpul di rumah melakukan sesuatu bersama-sama pasti menggunakan bahasa. Guru bertemu anak didiknya di kelas, pasti mereka menggunakan bahasa. Upacara bendera setiap hari senin di sekolah maupun upacara hari besar lainnya pasti mengunakan bahasa. Bupati dan Gubernur mengadakan kunjungan kerja ke berbagai tempat, pasti menggunakan bahasa. Presiden berpidato, pasti menggunakan bahasa. Adakah kegiatan manusia yang tidak menggunakan bahasa? Adakah budaya manusia yang tidak menggunakan bahasa? Semuanya pasti menggunakan bahasa. Itulah sebabnya bahasa menjadi unsur pertama dari 7 (tujuh) unsur kebudayaan universal. Kehidupan manusia selalu diwarnai oleh interaksi dan komunikasi. Interaksi dan komunikasi hanya dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa.
SBY dan Obama Komunikasi
Gambar 1. Salah satu fungsi bahasa yaitu untuk berkomunikasi dengan orang lain. (www.presidensby.info)
A. Pengertian Bahasa

Menurut pendapat kalian apakah yang dimaksud dengan bahasa?

Menurut Kridalaksana dalam buku “Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Lingusitik (2005)” bahasa ialah sistem tanda bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerjasama, berkomumikasi dan mengidentifikasi diri.

Pengertian bahasa itu dijelaskan oleh Kridalaksana dalam buku yang sama sebagai berikut.

1. Bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu bukanlah sejumlah unsur yang terkumpul secara tak beraturan. Seperti halnya sistem-sistem lain, unsur-unsur bahasa diatur seperti pola-pola yang berulang. Sehingga kalau hanya salah satu bagian saja tidak tampak, dapatlah diramalkan atau dibayangkan keseluruhan ujarannya. Misalnya bila kita menemukan bentuk sebagai berikut.

berangkat - kantor
ibu tinggal - rumah

Dengan segera dapat kita duga bagaimana bunyi kalimat itu secara keseluruhan. Bahasa adalah sistematis, artinya bahasa itu dapat diuraikan atas satuan-satuan terbatas yang terkombinasi dengan kaidah-kaidah yang dapat diramalkan. Bahasa juga sistemik, artinya bahasa itu bukanlah sistem yang tunggal, melainkan terdiri dari beberapa sub sistem, yakni subsistem fonologi, subsistem gramatikal dan subsistem leksikon.

2. Bahasa adalah sebuah sistem tanda. Tanda adalah hal atau benda yang mewakili sesuatu, atau hal yang menimbulkan reaksi yang sama bila orang menanggapi (melihat, mendengar, dan sebagainya) apa yang diwakilinya itu. Setiap bagian dari sistem itu atau setiap bagian dari bahasa tentulah mewakili sesuatu. Tegasnya bahasa itu bermakna, artinya bahasa itu berkaitan dengan segala aspek kehidupan dan alam sekitar masyarakat yang memakainya.

3. Bahasa adalah sistem bunyi. Pada dasarnya bahasa itu berupa bunyi. Apa yang kita kenal sebagai tulisan sifatnya sekunder, karena manusia dapat berbahasa tanpa mengenal tulisan.

4. Bahasa digunakan berdasarkan kesepakatan. Artinya sesuatu diberi makna di dalam bahasa tertentu karena demikianlah kesepakatan pemakai bahasa itu.

5. Bahasa bersifat produktif. Artinya sebagai sistem dari unsur-unsur yang jumlahnya terbatas, bahasa dapat dipakai secara tidak terbatas oleh pemakainya. Dari sudut petutur, bahasa Indonesia hanya mempunyai 5 tipe kalimat, yakni pernyataan, pertanyaan, perintah, keinginan dan seruan. Dari kelima tipe itu kita dapat menyusun kalimat Indonesia yang jumlahnya ribuan, bahkan mungkin jutaan.

6. Bahasa bersifat unik. Artinya, tiap bahasa mempunyai sistem yang khas yang tidak harus ada dalam bahasa lain. Bahasa Jawa mempunyai 100 kata untuk menyebutkan anak binatang yang tidak ada dalam bahasa lain. Bahasa Inggris mempunyai lebih dari 50 kata untuk menggambarkan berbagai bentuk daun yang tidak dikenal dalam bahasa lain.

7. Bahasa memiliki sifat universal. Sifat universal bahasa Indonesia misalnya terletak pada adjektiva mengikuti nomina, seperti rumah besar, jalan besar dan orang pandai. Ternyata sifat ini ditemui juga dalam bahasa Prancis, bahasa Tonkawa di Amerika, bahasa Swahili di Afrika, dan sebagainya.

8. Bahasa mempunyai variasi-variasi. Hal itu karena bahasa dipakai oleh kelompok manusia untuk bekerjasama dan berkomunikasi, serta karena kelompok manusia itu banyak ragamnya yang berinteraksi dalam berbagai lapangan kehidupan, dan yang menggunakan bahasa itu untuk berbagai macam keperluan. Tiap orang secara sadar atau tidak sadar mengungkapkan ciri khas pribadinya dalam bahasa. Tidaklah mengherankan apabila bahasa itu sangat bervariasi dan berbeda-beda cara pengungkapannya karena sangat dipengaruhi kepribadian, keperluan dan keanekaragaman manusia itu sendiri.

9. Dengan bahasa suatu kelompok sosial bisa mengidentifikasi dirinya. Diantara semua ciri budaya, bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol karena dengan bahasa tiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok lain. Bagi kelompokkelompok sosial tertentu, bahasa tidak sekedar merupakan sistem tanda, melainkan sebagai lambang identitas sosial. Apa yang kita sebut bahasa Cina, misalnya, sebenarnya adalah lambang identitas sosial yang ditandai oleh satu sistem tulisan yang mengikat jutaan manusia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan bahasa yang cukup jauh perbedaannya. Kenyataannya bahwa bahasa adalah lambang sosial yang mengukuhkan sesuatu, entah waktu yang berabad-abad, yang dikenal orang Melayu dengan pepatahnya berbunyi “Bahasa menunjukkan bangsa”.

10. Bahasa mempunyai fungsi. Bahasa digunakan manusia dengan cirinya masing-masing untuk berbagai keperluan. Fungsi bahasa tergantung pada faktor siapa, apa, kepada siapa, tentang siapa, di mana, bilamana, berapa lama, untuk apa dan dengan apa bahasa itu diujarkan.

Analogi Budaya 1 :

Coba kembangkan etos kerja dan orientasi kecakapan hidup pada diri kalian.

Akhir-akhir ini sering terjadi konflik dalam masyarakat hanya karena hal-hal sepele seperti perkataan yang menyinggung perasaan orang lain. Coba diskusikan dengan teman-teman kalian untuk menemukan solusi yang tepat dalam mengatasi konflik di masyarakat yang disebabkan oleh penggunaan bahasa yang tidak tepat. Selain itu coba kalian praktikkan dalam kehidupan kalian sehari-hari cara bertutur kata dan berbahasa yang baik dan benar.

1. Konsep-Konsep Penting dalam Bahasa

a. Fonetik

Fonetik berkenaan dengan satuan terkecil bahasa, yaitu bunyi. Fonetik berkenaan dengan proses pembunyiannya, realisasi dan penangkapannya melalui indera pendengaran. Menurut Trubetzkoy yang dikutip oleh FX Rahyono dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), fonetik merupakan studi bunyi bahasa yang berkenaan dengan peristiwa bahasa, murni studi fenomenalistik terhadap bahasa tanpa mempertimbangkan fungsi. Titik tolak fonetik adalah kongkret, yaitu bahasa manusia.

b. Semantik

Menurut Darmojuwono dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), semantik merupakan bidang linguistik yang mempelajari makna tanda bahasa. Apakah yang dimaksud dengan makna tanda bahasa? “Buku” adalah sebuah kata yang terdiri dari unsur lambang bunyi, yaitu (b-u-k-u) dan konsep atau citra mentak benda-benda (objek) yang dinamakan buku. Menurut Ogden dan Richards yang dikutip oleh Setiawati Darmojuwono dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), dalam karya klasik tentang “Teori semantik segitiga”, kaitan antara lambang, citra mental atau konsep dan referen atau objek dapat dijelaskan dengan gambar 2. dan uraian sebagai berikut.
Teori semantik segitiga
Gambar 2. Teori semantik segitiga.
Makna kata buku adalah konsep tentang buku yang tersimpan dalam otak kita dan dilambangkan dengan kata buku. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semantik mengkaji makna tanda bahasa, yaitu kaitan antara konsep dan tanda bahasa yang melambangkannya.

c. Sintaksis

Menurut Sihombing dan Kentjono dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), sintaksis merupakan studi gramatikal struktur antar kata. Struktur yang dimaksud di sini adalah urutan kata. Sebagian besar makna suatu frasa, misalnya sangat tergantung pada urutan kata pembentuknya. Jadi, jika kita perhatikan dua contoh di bawah ini akan kita dapati bahwa makna frasa 1 tidak sama dengan makna frasa 2.

1) Adik guru
2) Guru adik

Demikian pula, makna kalimat (3) tidak sama dengan makna kalimat (4).

3) Busra menunggu Wati
4) Wati menunggu Busra

d. Morfologi

Menurut Kentjono dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), morfologi merupakan studi gramatikal struktur intern kata. Morfologi merupakan ilmu bahasa yang mempelajari morfem yaitu satuan gramatikal yang terkecil. Sebagai satu gramatikal, morfem membentuk satuan yang lebih besar dan mempunyai makna. Sebagai satuan terkecil, morfem tidak dapat dipecah menjadi bagianbagian lebih kecil yang masing-masing mengandung makna.

Kentjono dalam buku yang sama lebih lanjut menjelaskan morfem dapat dikenal karena pemunculannya yang berulang-ulang dalam praktik. Morfem ditemukan dengan jalan memperbandingkan satuan-satuan ujaran yang mengandung kesamaan dan pertentangan, yakni kesamaan dan pertentangan dalam bentuk (fonologis) dan dalam makna.

Perhatikan kata-kata di bawah ini.

1) diambil
2) dibawa
3) dicuri
4) didukung

dibandingkan dengan kata :

1) ambil
2) bawa
3) curi
4) dukung

Pertama-tama akan terlihat bentuk-bentuk yang sama susunan fonemnya, yakni (di). Kedua, makna yang membedakan diambil dengan ambil juga terdapat dalam pasangan dibawa-bawa, dicuri-curi dan didukung-dukung. Dengan kata lain (di) mempunyai makna. Bentuk (di) ternyata tidak dapat dipecah menjadi bagian-bagian bermakna yang lebih kecil. Paparan di atas membuktikan bahwa (di) adalah morfem, dan masih banyak contoh lainnya yang dapat kita temui dalam pelajaran Bahasa.

2. Fungsi Bahasa

Ada berbagai ragam penggunaan bahasa di masyarakat dari dahulu hingga sekarang. Tempat, lawan bicara, dan tujuan mempengaruhi pemilihan kata-kata dalam berbahasa. Suhardi dan Sembiring dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), mengutarakan 5 (lima) ragam bahasa, yaitu:

a. Ragam bahasa intimate

Ragam bahasa intimate digunakan untuk orang yang memiliki hubungan sangat akrab dan intim, biasanya digunakan oleh kawula muda. Contohnya adalah ‘gue, lo, bete, ember, dan memang.

b. Ragam bahasa casual

Ragam bahasa casual digunakan dalam situasi tidak resmi dan santai. Dapat digunakan oleh orang yang belum tentu saling mengenal (tidak intim). Bentuk bahasa yang digunakan tidak baku.

c. Ragam bahasa consultative

Ragam bahasa consultative digunakan untuk tawar menawar oleh penjual-pembali, tanya jawab antara siswa dan gurunya. Ciri bahasa consultative adalah pilihan kata yang digunakan berpusat pada transaksi atau pertukaran informasi.

d. Ragam bahasa formal

Ragam bahasa formal digunakan dalam rapat atau diskusi resmi. Ciri khas bahasa formal adalah pilihan kata dan kalimat yang lengkap serta akurat, yang mencerminkan jarak hubungan dan situasi formal di antara peserta diskusi.

e. Ragam bahasa frozen

Ragam bahasa frozen digunakan pada acara ritual dan seremonial, sering digunakan oleh hakim, jaksa dan pembela di dalam sidang pengadilan. Disebut beku (frozen) karena ungkapan dan istilah yang dipakai tetap dan tidak memungkinkan adanya perubahan satu patah kata pun. Bahkan tekanan pelafalannya pun tidak boleh berubah sama sekali.

Dengan mengamati ragam penggunaan bahasa, maka bahasa dengan sendirinya memiliki beberapa fungsi.  Suhardi dan Sembiring dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguisti (2005), mengutarakan 7 (tujuh) fungsi bahasa, yang digambarkan sebagai berikut (fungsi bahasa diwakili kata yang dicetak miring).

a. Situasi (Kontekstual)
b. Pesan (Referensial)
c. Penutur (Konatif/Direktif)
d. Mitra Tutur (Emotif)
e Jalur (Fatis)
f. Bentuk Pesan (Puitis)
g. Aspek Bahasa (metalinguistik)

Pengertian dan contoh dari ketujuh fungsi bahasa itu dikemukakan uhardi dan Sembiring dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguisti (2005), sebagai berikut. Pengertian fungsi bahasa kontekstual dapat diperoleh dari contoh ketika seorang guru mengatakan, “Baik, mari kita mulai”, dan “Ujian selesai, tidak ada yang diperkenankan menulis lagi”, ungkapan itu menyebabkan berubahnya situasi. Ujaran tersebut memberi tekanan pada waktu (bagian dan setting). Karena itu, fungsi bahasa tersebut adalah kontekstual.

Investigasi Budaya 1 :

Coba kembangkan orientasi kecakapan hidup pada diri kalian.

Buatlah kelompok diskusi, kemudian diskusikan gambar berikut ini. Berkaitan dengan penggunaan ragam bahasa yang dipakai dan berikan alasannya! Coba kalian praktikkan dengan teman-teman sekelas cara berbahasa seperti yang dipakai di tempat kerja kemudian coba kalian bandingkan dengan cara berbahasa dengan teman-teman kalian saat bermain di lapangan, apakah ada bedanya menurut kalian?

Fungsi bahasa emotif terfokus pada penuturnya saat menyatakan perasaannya yang terwujud dalam rasa senang atau rasa kesal, seperti “Horeee” atau “Sialan”. Fungsi bahasa direktif terforkus pada mitra tutur yang sering diwujudkan dalam bentuk seruan atau suruhan, seperti, “Tolong” atau “Pelan-pelan”. Fungsi referensial terwujud dalam tuturan yang mengutamakan isi atau topik pembicaraan. Contohnya adalah komentator sepakbola yang sedang mengulas jalannya pertandingan sepakbola.

Fungsi fatis (phatic) timbul dalam tuturan yang mengutamakan tersambungnya atau terbukanya jalur tuturan (channel). Contoh ungkapan fatis sering terlihat dalam ucapan atau salam seseorang kepada orang lain sekadar untuk mengisi kekakuan suasana atau membuka pembicaraan. Mislanya, “Mau ke mana?” atau “Apa kabar?”. Fungsi puitis terwujud karena pusat perhatian terfokus pada bentuk pesan. Contohnya tulisan atau goresan ditembok-tembok tempat umum dalam bentuk grafik atau dalam karya sastra. Fungsi metalinguistik terwujud dalam ungkapan atau bahasa terpusat pada makna atau batasan istilah. Contohnya terdapat dalam bentuk rumus dan definisi, seperti “Merdeka berarti bebas”, dan “Bandung adalah ibu kota Jawa Barat”.

Analogi Budaya 2 :

Coba kembangkan etos kerja dan orientasi kecakapan pada diri kalian.

Coba kalian pergi ke perpustakaan sekolah dan carilah buku-buku cerita atau pengetahuan yang menggunakan bahasa dari berbagai daerah. Pahamilah isi ceritanya, kemudian berikan pendapat dan solusi kalian supaya bahasa-bahasa yang ada tidak musnah dan dapat dimanfaatkan untuk menambah kekayaan budaya bangsa dan sebagai aset nasional! Selain itu coba ceritakan kembali secara lisan menurut gaya bahasa dan cara bertutur kalian sendiri.


1. Pengertian Dialek

Pernahkah kalian pergi ke luar daerah tempat tinggal kalian dan mendengar orang-orang di daerah tersebut berbicara dengan tutur kata dan gaya berbicara yang berbeda dengan kalian, selanjutnya apa yang terlintas dalam pikiran kalian ketika mendengar kata dialek? Ada orang yang mengatakan dialek adalah substandar atau standar rendah dari suatu bahasa, dialek sering dihubungkan prestis seseorang atau kelompok. Ada juga yang mengatakan bahwa dialek sering dihubungkan dengan bahasa, terutama bahasa tutur dalam daerah tertentu. Ada lagi yang mengatakan bahwa dialek adalah beberapa bentuk penyimpangan berbahasa dikaitkan memberikan gambaran berbeda dibenaknya ketika mendengar kata dialek.

Menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), istilah dialek berasal dari kata Yunani dialektos. Pada mulanya dipergunakan dalam hubungannya dengan keadaan bahasa. Di Yunani terdapat perbedaan-perbedaan kecil di dalam bahasa yang dipergunakan pendukungnya masing-masing, tetapi hal tersebut tidak sampai menyebabkan mereka merasa mempunyai bahasa yang berbeda.

Perbedaan tersebut tidak mencegah mereka untuk secara keseluruhan merasa memiliki satu bahasa yang sama. Oleh karena itu, ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan (Meillet, 1967 : 69 - 70). Dialek adalah logat berbahasa. Dialek adalah perlambangan dan pengkhususan dari bahasa induk. Menurut Weijnen, dkk yang dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983) dialek adalah sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh satu masyarakat untuk membedakan dari masyarakat lain.

Menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), ada 2 (dua) ciri yang dimiliki dialek, yaitu:

a. Dialek adalah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama.
b. Dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa. (Meillet 1967: 69).

Dengan meminjam kata-kata Claude Fauchet, dialek ialah mots de leur terroir yang berarti dialek adalah kata-kata di atas tanahnya (Chaurand, 1972: 149), yang di dalam perkembangannya kemudian menunjuk kepada suatu bahasa daerah yang layak dipergunakan dalam karya sastra daerah yang bersangkutan.

Pada perkembangannya tersebut, kemudian salah satu dialek yang kedudukannya sederajat itu sedikit demi sedikit diterima sebagai bahasa baku oleh seluruh daerah.Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor subyektif maupun obyektif. Faktor-faktor yang menentukan penobatan suatu dialek menjadi bahasa baku terutama politik, kebudayaan dan ekonomi (Meillet, 1967: 72). Di dalam proses tersebut, kaum perantara juga turut berjasa di antaranya mereka yang berpendidikan dan menguasai bahasa budayanya (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1983).

Proses perkembangan dialek bermula pada kelompok yang berpendidikan. Dwibahasawan mereka mempergunakan koine, yaitu ungkapan-ungkapan bahasa baku sebagai bahasa budaya, dan dialek sebagai bahasa praja. Koine mereka pergunakan untuk sesama mereka, dan dialek mereka pergunakan jika berkomunikasi dengan penduduk setempat, petani dan kelompok sederhana lainnya. Sementara itu penduduk sendiri adalah ekabahasawan. Walaupun mereka mengagumi koine, tapi mereka hanya mempergunakan dialek saja. Pada tahap berikutnya, masyarakat berpendidikan itu menjadi ekabahawasan. Mereka menghindari pemakaian dialek yang sudah kehilangan dasar-dasar kaidahnya. Sejak itu penduduk bahasanya menjadi dwibahasawan. Pada mulanya mereka belum memenuhi semua persyaratan bahasa baku
tersebut, tergantung kepada taraf pendidikan mereka. Di samping itu mereka tetap mempergunakan dialek di antara sesama mereka saja (Gairaud, 1970: 7-8, di kutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1983).

2. Asal-usul dan Perkembangan Dialek

Menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), pertumbuhan dan perkembangan dialek sangat ditentukan oleh faktor kebahasaan dan faktor luar bahasa. Keadaan alam, misalnya mempengaruhi ruang gerak penduduk setempat, baik dalam mempermudah penduduk berkomunikasi dengan dunia luar maupun mengurangi adanya kemungkinan itu (Guiraud, 1970). Sejalan dengan adanya batas alam tersebut, dapat dilihat pula adanya batas-batas politik yang menjadi jembatan terjadinya pertukaran budaya. Hal itu menjadi salah satu sarana terjadinya pertukaran bahasa. Demikian pula halnya dengan ekonomi, cara hidup dan sebagainya. Tercermin pula di dalam dialek yang bersangkutan (Guiraud, 1970).

Menurut Guiraud (1970: 26) yang dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983) terjadinya ragam dialek itu disebabkan oleh adanya hubungan dan keunggulan bahasa yang terbawa ketika terjadi perpindahan penduduk, penyerbuan atau penjajahan. Hal yang tidak boleh dilupakan ialah peranan dialek atau bahasa yang bertetangga di dalam proses terjadinya suatu dialek itu. Dari dialek dan bahasa yang bertetangga itu, masuklah anasir kosakata, struktur, dan cara pengucapan atau lafal.

Setelah itu kemudian ada di antara dialek tersebut yang diangkat menjadi bahasa baku, maka peranan bahasa baku itu pun tidak boleh dilupakan. Sementara pada gilirannya, bahasa baku tetap terkena pengaruhnya baik dari dialeknya maupun dari bahasa tetangganya. Selanjutnya, dialek berkembang menuju dua arah, yaitu perkembangan membaik dan perkembangan memburuk. Menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), Bahasa Sunda di kota Bandung dijadikan dasar bahasa sekolah yang kemudian dianggap sebagai bahasa Sunda baku. Hal tersebut didasarkan kepada faktor obyektif dan subyektif. Secara obyektif memang harus diakui bahwa Bahasa Sunda kota Bandung memberikan kemungkinan lebih besar untuk dijadikan bahasa sekolah dan kemudian sebagai bahasa Sunda Baku. Hal ini dialek bahasa Sunda mengalami perkembangan membaik.

Pusat Pembinaan dan Perkembangan Bahasa (1983), memberi contoh perkembangan dialek yang memburuk sebagai berikut. Pada lima tahun yang lalu, penduduk kampung Legok (Indramayu) masih berbicara Bahasa Sunda. Sekarang penduduk kampung itu hanya dapat mempergunakan Bahasa Jawa – Cirebon. Dengan kata lain, bahasa Sunda di kampung itu sekarang telah lenyap, dan kelenyapan itu merupakan keadaan yang paling buruk dari perkembangan memburuk suatu bahasa atau dialek.

3. Pembeda Dialek

Setiap dialek memiliki perbedaan, Dialek suatu daerah berbeda dengan dialek daerah lainnya. Meskipun rumpun bahasa yang digunakan adalah sama. Dialek bahasa Jawa Surakarta berbeda dengan Bahasa Jawa yang ada di Jawa Timur dan daerah Purwokerto, dan sebagainya. Menurut Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), perbedaan dialek pada garis besarnya dapat dibagi menjadi lima macam. Kelima macam pembedaan itu ialah sebagai berikut.

a. Perbedaan fonetik

Perbedaan ini berada di bidang fonologi. Biasanya si pemakai dialek atau bahasa yang bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan tersebut. Sebagai contoh dapat dikemukakan carema dengan cereme yaitu buah atau pohon cerme, gudang dengan kudang, jendela, gandela atau janela. Mandadaki dengan manakaki (nama sejenis pardu). Dari contoh-contoh itu tampak bahwa perbedaan fonetik itu dapat terjadi pada vokal maupun konsonan (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1983).

b. Perbedaan semantik

Perbedaan semantik merujuk kepada terciptanya kata-kata baru, berdasarkan perubahan fonologi dan geseran bentuk. Peristiwa tersebut biasanya terjadi geseran makna kata. Geseran tersebut bertalian dengan dua corak makna, yaitu:
  1. Pemberian nama yang berbeda untuk lambang yang sama di beberapa tempat yang berbeda, seperti turi dan turuy ‘turi ’, balimbing dan calingcing buat belimbing. Pada bahasa Sunda, geseran corak ini pada umumnya dikenal dengan istilah sinonim, padan kata atau sama makna (Guiraud, 1970: 15, dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1983).
  2. Pemberian nama sama untuk hal yang berbeda di beberapa tempat yang berbeda. Misalnya calingcing untuk calincing dan belimbing, meri untuk itik dan anak itik. Pada Bahasa Sunda, geseran ini dikenal dengan nama homonimi (Guiraud, 1970: 8, dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1983).
c. Perbedaan onomasiologis

Menurut Guiraud (1970: 16), yang dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), perbedaan onomasiologis merujuk pada nama yang berbeda berdasarkan satu konsep, yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda. Menghadiri kenduri misalnya, di beberapa daerah Bahasa Sunda tertentu biasanya disebut ondangan, kondangan atau kaondangan. Ini jelas disebabkan oleh adanya tanggapan atau tafsiran yang berbeda mengenai kehadiran di tempat kenduri itu. Kondangan, ondangan dan kaondangan didasarkan kepada tanggapan bahwa kehadiran di situ karena diundang, sedangkan nyambungan didasarkan kepada tafsiran bahwa kehadiran di situ disebabkan oleh keinginan menyumbang barang sedikit kepada yang punya kenduri.

d. Perbedaan semasiologis

Menurut Guiraud (1970: 17-18), yang dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), perbedaan semasiologis merujuk kepada pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang berbeda. Frase-frase seperti rambutan Aceh, pencak cikalong dan orang yang berhaluan kiri, tidak jarang diucapkan hanya Aceh, cikalong dan kiri saja. Ucapan ini sudah dalam kaitan tertentu. Dengan demikian kata Aceh, misalnya, mengandung sedikitnya lima makna, yaitu:
  1. nama suku bangsa,
  2. nama daerah,
  3. nama kebudayaan,
  4. nama bahasa, dan
  5. nama sejenis rambutan.
e. Perbedaan morfologis

Menurut Guiraud (1970), yang dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), perbedaan morfologis merujuk pada sistem tata bahasa yang bersangkutan. Hal tersebut disebabkan oleh frekuensi morfem-morfem yang berbeda, oleh kegunaannya yang berkerabat, oleh wujud fonetisnya, oleh daya rasanya dan oleh sejumlah faktor lainnya lagi.

Analogi Budaya 2 :

Coba kembangkan keingintahuan kalian melalui pengamatan dan orientasi kecakapan pada diri kalian.

Dialek orang Banyumas berbeda dengan dialek orang Solo dan Yogyakarta. Meskipun mereka sama-sama menggunakan bahasa Jawa. Coba lakukan pengamatan lagi terhadap orang-orang Banyumas dan bandingkan dengan orang Solo! Mengapa terjadi perbedaan dialek di antara keduanya? Selanjutnya coba kalian peragakan dan praktikkan sendiri cara berbicara dan berdialek cara orang Solo dan orang Banyumas menurut cara kalian sendiri.

4. Ragam Dialek

Menurut Kridalaksana (1970), ragam dialek atau bahasa ditentukan oleh faktor waktu, tempat, sosial-budaya, situasi, dan sarana pengungkapan. Pada kenyataannya, faktor-faktor tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi seringkali saling melengkapi. Faktor waktu misalnya, mengakibatkan bahasa yang sama, pada masa lampau dan sekarang berlainan, sedangkan bersama-sama dengan faktor tempat, kelainan itu berkembang sampai saat sekarang. Artinya, apa yang umumnya disebut dialek regional sebenarnya dihasilkan baik oleh faktor waktu maupun faktor tempat. Berdasarkan hal tersebut, pada umumnya dialek dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu dialek 1, dialek 2 dan dialek sosial.

a. Dialek 1

Dialek 1 adalah dialek yang berbeda-beda karena keadaan alam sekitar tempat dialek tersebut dipergunakan sepanjang perkembangannya (Warnant, 1973, dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa 1983). Dialek itu dihasilkan karena adanya dua faktor yang saling melengkapi, yaitu faktor waktu dan tempat. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa bahasa Melayu yang dipergunakan di daerah Manado ialah bahasa Melayu yang menurut sejarahnya dipergunakan di daerah Manado, dan berdasarkan tempatnya hanya dipergunakan di daerah itu saja.

b. Dialek 2

Menurut Warnant, (1973), dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983). Dialek 2 adalah bahasa yang dipergunakan di luar daerah pakainya. Hubungannya dengan Bahasa Indonesia adalah misalnya dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia yang dipergunakan di daerah Bali, Batak, Bugis dan Sunda atau yang diucapkan oleh orang-orang yang berasal dari suku tersebut merupakan dialek 2. Bahasa Indonesia yang dipergunakan di daerah Ambon, Manado dan Jakarta, bukan dialek 2 karena ketiga daerah tersebut dianggap sebagai daerah pakai Bahasa Indonesia. Demikian juga halnya dengan Bahasa Sunda. Bahasa Sunda yang dipergunakan di daerah Cirebon – Sunda misalnya, merupakan dialek regional 1, tetapi yang dipergunakan di daerah Cirebon – Jawa termasuk dialek 2.

c. Dialek sosial

Menurut Kridalaksana (1970), dialek sosial atau sosiolecte adalah ragam bahasa yang dipergunakan oleh kelompok tertentu. Dengan demikian, mudah membedakannya dari kelompok masyarakat lainnya. Kelompok itu dapat terdiri atas kelompok pekerjaan, usia, kegiatan, kelamin, pendidikan, dan sebagainya. Ragam dialek sosial yang memperlihatkan ciri-ciri yang sangat khusus dikenal dengan nama argot atau slang. Sampai pada akhir abad ke–19, argot masih diartikan sebagai bahasa khusus kaum petualang, pencuri, dan pengemis. Bahasa tersebut hanya dipergunakan untuk dan oleh mereka saja. Seiring dengan meluasnya pameo-pameo khusus, argot menjadi lebih atau kurang teknis, lebih atau kurang kaya, lebih atau kurang indah, dan dipergunakan oleh mereka yang berasal dari kelompok profesi yang sama (Guiraud, 1973, dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1983).

Analogi Budaya 4 :

Coba kembangkan rasa keingintahuan dan orientasi kecakapan pada diri kalian.

Amati dan telitilah dialek yang digunakan oleh masyarakat yang menggunakan bahasa jawa Surakarta dan bahasa jawa Purwokerto. Berikan pendapat kalian mengapa kedua masyarakat jawa tersebut memiliki dialek yang berbeda?


Ada dua ciri bahasa yang saling bertentangan, yakni ciri universal dan ciri lokal (unik). Ciri universal bahasa, diantaranya terletak pada fonologi, morfologi, dan sematik yang ditemukan pada hampir semua bahasa yang terletak pada adjektiva mengikuti nomina, seperti rumah besar, jalan besar dan orang pandai yang juga ditemui di berbagai bahasa di dunia. Sifat universal bahasa dapat juga ditemui di persamaan kata pada beberapa bahasa di dunia. Fakta ini memperkuat dugaan para ahli bahwa pada asal mulanya bahasa manusia itu adalah satu dan sama. Sifat lokal (unik) bahasa dapat ditemui pada setiap daerah dan waktu serta individu. Lingua franca Indonesia adalah bahasa Indonesia, tetapi cara setiap orang Indonesia menggunakan bahasa Indonesia dapat kita tentukan asal-usul daerah. Cara orang Ambon berbeda dengan orang Betawi dalam mengungkapkan sesuatu dalam Bahasa Indonesia. Begitu juga halnya dengan orang Minahasa, Madura, Batak, Jawa, dan sebagainya. Keunikan itu pada akhirnya membentuk aksen, logat atau dialek yang disebut juga dengan idiolek-idiolek. Bahasa Indonesia dengan dialek Betawi dapat kita temui pada Mandra yang terkenal dengan sinetronnya Si Doel Anak Sekolahan. 

Bahasa Indonesia dengan dialek Madura diwakili oleh Kadir dalam sinetron Kanan Kiri Oke. Bahasa Indonesia dengan dialek Batak diwakili oleh Si Raja Minyak yang diperankan oleh Ruhut Sitompul dalam sinetron Gerhana, dan sebagainya. Bahasa sebagai suatu sistem memiliki multimakna. Dari sekian banyak makna, ada tiga makna yang memunculkan variasi-variasi dan dialek bahasa dalam kehidupan manusia, yaitu:

1). Bahasa bersifat unik. Artinya, tiap bahasa mempunyai sistem yang khas yang tidak harus ada dalam bahasa lain. Bahasa Jawa mempunyai 100 kata untuk menyebutkan berbagai anak binatang yang tidak ada dalam bahasa lain. Bahasa Inggris mempunyai lebih dari 50 kata untuk menggambarkan berbagai bentuk daun yang tidak dikenal dalam bahasa lain.

2). Bahasa mempunyai variasi-variasi karena bahasa itu dipakai oleh kelompok manusia untuk bekerjasama dan berkomunikasi, karena kelompok manusia tersebut banyak ragamnya yang berinteraksi dalam berbagai lapangan kehidupan, serta penggunaan bahasa untuk berbagai macam keperluan. Di lingkungan masyarakat Jakarta misalnya, Si Ucok memiliki kebiasaan sehari-hari untuk mengakhiri tuturnya dengan kata ‘bukan?’, namun tetangganya yang bernama si Andi, si Oneng dan si Ujang tidak suka dengan kebiasaan semacam itu. Pilihan kata-kata antara seseorang dengan orang lain pun juga berbeda. Sebenarnya semuanya itu masih tetap kita sebut satu bahasa, semuanya merupakan perbendaharaan dari suatu bahasa. Nah, tutur kata dari setiap anggota masyarakat bahasa (misalnya masyarakat bahasa Betawi, Sunda, Jawa, Bali, dan lain-lain), yang ditandai dengan perbedaan-perbedaan kecil semacam itulah yang kita sebut sebagai idiolek. Atau dengan bahasa yang sangat sederhana dapatlah dikatakan bahwa yang dinamakan idiolek adalah keseluruhan ciri-ciri dalam ujaran perseorangan.

Bahasa bersifat unik yang membuatnya berbeda dengan bahasa lainnya yang ada di dunia ini. Bahasa sangat variatif yang timbul dari keperluan dan pribadi pengguna bahasa. Bahasa sebagai sarana identifikasi kelompok sosial. Soalnya adalah apakah yang menjadi dasar pemberda yang memunculkan dialek bahasa? Menurut Kridalaksana (1970) adalah waktu dan tempat. Menurut Sibarani (2002) adalah budaya yang menjadi latar belakangnya. Bentuk bahasa yang sama mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan kebudayaan yang menjadi wadahnya.

Contohnya adalah :

a) Makna leksikon godang pada dialek Angkola/Mandailing berarti banyak sedangkan makna leksikon godang pada dialek Batak Toba berarti besar.
b) Makna leksikon penyakit kelaminnya telah bertambah larut (bahasa Malaysia) sama dengan penyakit istrinya telah bertambah parah (bahasa Indonesia).
c) Makna leksikon ran itu didiami oleh sekelamin orang sakai (bahasa Malaysia) sama dengan pondok itu didiami oleh sepasang orang Sakai (bahasa Indonesia).
d) Keadaan serupa dapat juga kita temui pada bahasa Jawa dan Sunda, yaitu :

Bahasa Sunda
Bahasa Jawa
amis ‘manis’
amis ‘manis’
gedang ‘pepaya’
gedang ‘pisang’
raos ‘enak’
raos ‘rasa’
atos ‘sudah’
atos ‘keras’
cokot ‘ambil’
cokot ‘gigit’

3). Dengan bahasa suatu kelompok sosial bisa mengidentifikasi dirinya.

Di antara semua ciri budaya, bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol, karena dengan bahasa tiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok lain. Gaya bahasa menunjukkan identitas suatu kelompok sosial. Gaya bahasa Indonesia masyarakat Bugis berbeda dengan gaya bahasa masyarakat Samarinda, masyarakat Bali, masyarakat Madura, masyarakat Lampung, masyarakat Melayu Riau, masyarakat Aceh, dan sebagainya. Bahasa yang menunjukkan identifikasi sosial pemakainya disebut dengan masyarakat bahasa. Menurut Halliday yang dikutip F.X. Rahyono dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa atau menganggap diri mereka memakai bahasa yang sama. Masyarakat bahasa sangat erat hubungannya dengan subjektivitas pemakainya. Secara linguistik, bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia adalah satu bahasa yang sama, namun masyarakat bahasa yang memakai kedua bahasa tersebut menganggapnya sebagai bahasa yang berbeda. Akibatnya muncullah dua masyarakat bahasa yang berbeda. Masyarakat bahasa Indonesia dan masyarakat bahasa Malaysia. Kondisi ini mempengaruhi keakraban dan keintiman pemakai bahasa yang bersangkutan. Anggota masyarakat bahasa Indonesia terasa semakin akrab dengan sesamanya yang menggunakan bahasa Indonesia dibandingkan dengan orang dari masyarakat bahasa Malaysia, begitu juga sebaliknya. Bahasa membentuk identitas suatu kelompok sosial yang akan mempengaruhi keakraban dan keintiman pemakainya.

Analogi Budaya 5 :

Coba kembangkan etos kerja dan orientasi kecakapan hidup pada diri kalian.

Di Jawa terdapat berbagai dialek Jawa. Salah satunya adalah bahasa Jawa logat Banyumas, bahasa Jawa logat Surakarta dan sebagainya. Coba diskusikan dengan teman-teman kalian dan berikan solusi yang tepat supaya perbedaan dialek tersebut tidak menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Selanjutnya solusi hasil diskusi tersebut coba praktikkan dalam kehidupan kalian sehari-hari.

D. Bahasa Membentuk Dialek

Pada uraian terdahulu, kalian telah mempelajari bahasa dan dialek yang menghasilkan suatu kesimpulan ada hubungan yang sangat erat antara bahasa dan dialek. Soalnya adalah bagaimanakah hubungan antara bahasa dengan dialek? Jawaban pertama adalah bahasa membentuk dialek. Bagaimana hal itu terjadi? Terjadinya hal itu dikarenakan pengaruh non bahasa, terutama politik, kebudayaan dan ekonomi. Atas dasar pengaruh non bahasa itu, akhirnya muncul keragaman dialek dan aksen menurut pemakainya.

Dialek adalah kata-kata di atas tanahnya. Lingua franca bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia, tetapi tiap daerah-daerah di Indonesia memiliki dialek dan aksen yang unik dalam berbahasa Indonesia. Orang Papua memiliki dialek unik ketika berbahasa Indonesia, begitu juga halnya dengan orang Kalimantan, orang Bali, orang Sulawesi, orang Jawa, orang Sunda, orang Madura, orang Baduy, orang Palembang, orang Batak, orang Aceh, dan sebagainya. Misalnya saja ada suatu kelompok pemakai bahasa Indonesia (yaitu kumpulan dari sejumlah idiolek-idiolek) yang mengucapkan kata ’pecah’, sedangkan kelompok pemakai bahasa Indonesia lain akan mengucapkannya dengan ‘picah’. Demikian pula ada kelompok idiolek yang mengucapkan kata ‘nasehat’, sedangkan kelompok lainnya mengucapkan ‘nasihat’, dan begitulah seterusnya. Semuanya menggunakan bahasa yang sama yaitu bahasa Indonesia, tetapi mereka memiliki logat (dialek) sendiri ketika menggunakannya. Sehingga dari cara mereka berbicara kita dapat mengetahui identitas sosial penuturnya, kita dapat tahu asal-usul penuturnya. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa membentuk dialek melalui perbedaan tempat. Dialek yang ditimbul karena tempat atau daerah disebut dengan dialek regional.

Dialek bahasa dapat juga disebabkan oleh latar belakang pendidikan pemakainya, pekerjaannya atau karena faktor derajat resmi situasinya. Sebagai contoh dapat dikemukakan kasus berikut. Banyak nama diri di masyarakat kita yang memiliki konsonan frikatif labiodental tak bersuara (f), seperti Jusuf, Fahrudin, Alif, Fransiska, dan lain-lain. Kalau diperhatikan ternyata tidak semua orang melafalkan nama tersebut dengan tepat. Karena latar bekakang pendidikan ataupun bahasa pertamanya. Sebagian orang mengganti konsonan frikatif labiodental tak bersuara (f) itu dengan konsonan bilabial tak bersuara (p) dan melafalkannya menjadi jusup, pahrudin, alip, dan pransiska. Dialek bahasa yang disebabkan oleh latar belakang pendidikan, pekerjaan dan faktor derajat resmi situasinya disebut dialek sosial (Suhardi dan Sembiring dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Bahasa, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa bahasa membentuk dialek melalui perbedaan latar belakang pendidikan. Dialek yang ditimbul karena perbedaan latar belakang pendidikan disebut dengan dialek sosial.

Dialek sosial dapat juga dikarenakan pekerjaan yang berbeda. Cara seorang anggota militer berbahasa Indonesia menunjukkan dialek yang berbeda dengan sipil. Anggota militer nampak lebih tegas, jelas dan lantang. Sementara anggota masyarakat sipil (non militer) nampak menunjukkan dialek dan aksen yang lebih lembut, luwes dan lemah. Hakim, jaksa dan pembela menunjukkan dialek yang berbeda dalam menggunakan bahasa Indonesia, lebih formal, pilihan kata yang kaku dan tepat. Sementara guru menunjukkan dialek yang lebih familiar, luwes dan longgar dalam menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa bahasa membentuk dialek sebagai pengaruh dari pekerjaan. Dialek yang ditimbul karena pekerjaan disebut dengan dialek regional.

Derajat resmi situasinya juga menimbulkan dialek dalam menggunakan bahasa Indonesia. Saat Presiden mengungkapkan pidato kenegaraan, saat penghulu memimpin jalannya upacara pernikahan atau Pendeta yang melakukan pemberkatan pernikahan. Mereka semuanya menggunakan bahasa dengan dialekotoritas, tegas dan penuh kedaulatan dan kekuasaan. Berbeda halnya pada situasi tidak remis, seperti saat santai dan pembicaraan tidak resmi lainnya, mereka akan menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek persahabatan, kedekatan dan lunak. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa membentuk dialek melalui resmi tidaknya situasi pembicaraan. Dialek yang ditimbul karena resmi tidaknya situasi disebut dengan dialek sosial.

E. Dialek Membentuk Bahasa

Kalian mempelajari bahasa dan dialek yang menghasilkan suatu kesimpulan ada hubungan yang sangat erat antara bahasa dan dialek. Soalnya adalah bagaimanakah hubungan antara bahasa dengan dialek? Jawaban kedua adalah dialek membentuk bahasa. Bagaimana hal itu terjadi? Dialek ialah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbedabeda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama.

Dengan meminjam kata-kata Claude Fauchet, dialek ialah mots de leur terroir yang berarti dialek adalah kata-kata di atas tanahnya (Chaurand, 1972 : 149), yang di dalam perkembangannya kemudian menunjuk kepada suatu bahasa daerah yang layak dipergunakan dalam karya sastra daerah yang bersangkutan. Di dalam perkembangannya tersebut, kemudian salah satu dialek yang kedudukannya sederajat itu sedikit demi sedikit diterima sebagai bahasa baku oleh seluruh daerah pakai dialek-dialek itu. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor subyektif maupun obyektif. Faktor-faktor yang menentukan suatu dialek menjadi bahasa baku ialah politik, kebudayaan dan ekonomi (Meillet, 1967 : 72). Demikian caranya dialek membentuk bahasa baku yang bersifat universal pada tingkat daerah, nasional maupun internasional.

Selain adanya beberapa faktor di atas, munculnya bahasa baku juga bisa dipicu oleh adanya kebutuhan dari beberapa kelompok masyarakat yang saling terpisah, untuk bisa berhubungan satu sama lain. Dengan demikian, dari sudut pandang ini yang dinamakan bahasa baku (standar) adalah bahasa atau dialek yang dipilih oleh anggota masyarakat untuk saling berkomunikasi. Dipilihnya suatu dialek menjadi bahasa baku (standar) bisa juga karena bahasa atau dialek tersebut dianggap paling betul (baik) oleh masyarakat yang akan memakainya. Bentuk serta pemakaian bahasa baku ini selanjutnya akan menjadi model percontohan bagi seluruh rakyat. Kemudian di dalam praktiknya, seseorang yang akan berbahasa di samping akan menyesuaikan diri dengan orang yang akan diajak bicara (misalnya pakai bahasa atau dialek apa), maka seorang penutur bahasa tersebut akan mencoba menyesuaikan diri dengan bentuk, serta pemakaian bahasa yang telah dipakai secara luas di dalam masyarakat. Dengan demikian, praktik penggunaan bahasa tarik-menarik antara bahasa standar (bahasa baku/bahasa nasional) dengan bahasa yang digunakan secara akrab (yakni bahasa lokal/dialek bahasa yang biasanya bersifat kelokalan/kedaerahan) akan berlangsung terus-menerus.

Demikianlah cara dialek berubah menjadi bahasa yang bersifat universal, baik pada tingkat regional, nasional maupun internasional. Sebelum bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional, pada awalnya bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa daerah dengan dialek daerah khusus. Atas kesepakatan bersama dengan berbagai alasan. Seperti lebih familiar bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dan daerah penyebaraannya lebih luas dibanding bahasa etnik lainnya, maka dipilih dan disepakatilah bahasa Melayu menjadi bahasa baku (standar) nasional yang kemudian dikenal dengan bahasa Indonesia. Perkembangan selanjutnya menunjukkan Indonesia sekarang tidak dapat lagi disamakan dengan bahasa Melayu, karena bahasa Indonesia menyerap berbagai bahasa daerah dan bahasa asing lainnya dan mengangkatnya menjadi bahasa baku. Demikian cara dialek menjadi bahasa baku (standar).

Analogi Budaya 6 :

Coba kembangkan wawasan kebinekaan dan orientasi kecakapan pada diri kalian!

Carilah informasi dari berbagai sumber dan media massa mengenai keanekaragam budaya dan kemajemukan masyarakat serta aneka ragam suku bangsa. Kemudian kaitkan dengan perbedaan bahasa dan dialek yang digunakan. Coba berikan komentar dan solusi kalian berkaitan dengan keanekaragaman bangsa sebagai kekayaan potensi Indonesia dan untuk menumbuhkan wawasan kebangsaan kalian!Selain itu Coba kalian peragakan berbagai budaya yang beranekaragam dan kalian kuasai seperti tari dari beberapa daerah misalnya tari Bali, tari Gambyong dan Jaipong.

F. Kegunaan Bahasa

Masih ingatkah kalian pengertian bahasa? Bahasa ialah sistem tanda bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerjasama, berkomunikasi dan mengidentifikasi diri. Bahasa ialah sistem tanda bunyi yang digunakan pemakainya untuk berkomunikasi dan untuk berbagai keperluan lainnya. Menurut Harimurti Kridalaksana dan Hermina Sutami dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), pengertian bahasa di atas menunjuk kepada bahasa lisan, sistem tanda bunyi mengarah kepada bahasa lisan.

Menurut Kridalaksana dan Sutami dalam buku yang sama ada dua wujud bahasa, yaitu bahasa tulis dan bahasa lisan. Unsur utama bahasa tulis adalah tulisan, sedangkan unsur utama bahasa lisan adalah bunyi (ujaran). Kedua wujud bahasa itu bersifat saling melengkapi, kehadiran bahasa tulis didasarkan akan kebutuhan manusia untuk dapat mengingat peristiwa penting dalam jangka panjang. Daya ingat manusia terbatas, manusia merekam peristiwa penting dalam bahasa tulis, sehingga dapat mengingatnya dalam waktu yang sangat lama selama tulisan itu ada.

Kemampuan berbahasa yang pertama kali dikuasai manusia adalah kemampuan berbahasa lisan. Sebelum seorang manusia mengenal dan memasuki sekolah, ia telah dapat menggunakan bahasa lisan. Seorang anak yang belum sekolah berkomunikasi dengan mudah bisa menggunakan bahasa lisan pada siapapun. Bahkan sampai akhir hayatnya manusia tetap menggunakan bahasa lisan dalam kehidupannya. Bahkan peradaban manusia dimulai dengan bahasa tulisan, dan sampai sekarang masih banyak masyarakat bahasa yang mengandalkan bahasa lisan dalam mengembangkan dan mewariskan kebudayaannya. Bila dibandingkan, manusia dalam hidupnya lebih banyak menggunakan bahasa lisan dari pada bahasa tulisan. Sangatlah tepat pendapat Kridalaksana dan Sutami dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), yang mengatakan “Bahasa lisan merupakan hal utama dan mendasar yang dimiliki manusia”.

Bagaimanakah gambaran kebudayaan bahasa manusia dalam menggunakan bahasa lisan? Gambaran itu dapat diperoleh dengan memahami beberapa konsep yang penting dan timbul dari penggunaan bahasa lisan. Dari zaman purba hingga jaman sekarang, hakekat manusia sebagai makhluk sosial diantaranya diwujudkan dengan cara mencari teman. Manusia mencari teman, manusia bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Proses perjalanan itu, kemungkinan besar ia bertemu dengan orang dari masyarakat bahasa yang lain. Singkatnya orang itu bertemu dengan orang lain yang berbeda bahasa dengannya. Pada keadaan ini terjadilah sentuh bahasa.

1. Sentuh Bahasa

F.X. Rahyono dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), menggambarkan sentuh bahasa sebagai berikut; “Di dunia ini banyak terdapat masyarakat bahasa yang berbeda bertemu, hidup bersama-sama, dan berpengaruh terhadap masyarakat bahasa lain. Keadaan semacam ini menimbulkan apa yang disebut sentuh bahasa atau kontak bahasa. Ciri yang menonjol dari sentuh bahasa ini adalah terdapatnya kedwibahasaan (bilingualism).

Pada masyarakat Indonesia sangat sering terjadi sentuh bahasa. Setiap waktu terjadi pertemuan dari manusia yang berasal dari masyarakat bahasa yang berbeda. Orang Indonesia dari berbagai suku bangsa hidup berdampingan secara damai di berbagai daerah Indonesia. Tidak terelakkan terjadinya sentuh bahasa dari masyarakat bahasa yang berlainan. Hal ini sudah berlangsung sejak zaman dahulu kala. Hasilnya banyak orang Indonesia yang menguasai bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya. Bahasa Indonesia digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang berasal dari masyarakat bahasa lain dan bahasa daerah digunakan dengan sesama orang yang berasal dari masyarakat bahasa yang bersangkutan. Bahkan banyak juga orang Indonesia yang menguasai tiga atau lebih bahasa.

a. Ekabahasawan (monolingual, unilingual, atau monoglot) adalah orang yang menguasai satu bahasa.
b. Dwibahasawan (bilingual) adalah orang yang menguasai dua bahasa.
c. Anekabahasawan (multilingual, plurilingual atau polyglot) adalah orang yang menguasai lebih dari dua bahasa.

Investigasi Budaya 2:

Coba kembangkan wawasan kebinekaan dan orientasi kecakapan pada diri kalian!

Coba berikan komentar dan pendapat kalian mengenai gambar berikut berkaitan dengan penggunaan bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai sarana media komunikasi. Kemudian coba kalian pelajari dan praktikkan beberapa bahasa daerah lain dengan teman-teman kalian.

2. Kedwibahasaan

Apakah yang dimaksud dengan kedwibahasaan? B. Suhardi dan B. Cornelius Sembiring dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), mengutip beberapa pendapat tokoh sebagai berikut:

a. Leonard Bloomfield (1933) mengartikan kedwibahasaan sebagai “penguasaaan (seseorang) yang sama baiknya atas dua bahasa”.
b. Uriel Weinreich (1968) mendefinisikan kedwibahasaan sebagai “pemakaian dua bahasa (oleh seseorang) secara bergantian”.
c. “Einar Haugen (1966) mengartikan kedwibahasaan sebagai ‘kemampuan (seseorang) menghasilkan tuturan yang lengkap dan bermakna dalam bahasa lain”.

Sangat sulit menemukan definisi yang tepat dan lengkap terhadap kedwibahasaan, tetapi dari beberapa definisi di atas, ada satu tolak ukur yang dikandungnya, yaitu kemampuan seseorang menghasilkan tuturan dalam bahasa lain di luar bahasa ibunya.

Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai seseorang. Pada umumnya bahasa ibu orang Indonesia adalah bahasa daerahnya. Bahasa ibu suku bangsa Makasar adalah bahasa Makasar. Bahasa ibu suku bangsa Manggarai di Nusa Tenggara adalah bahasa Manggarai. Bahasa suku bangsa Nias di Sumatera adalah bahasa Nias, dan sebagainya. Bahasa kedua adalah bahasa lain diluar bahasa ibu yang dikuasai seseorang.

Bahasa kedua pada umumnya orang Indonesia adalah bahasa Indonesia. Menurut dan Sembiring dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), penguasaan seseorang terhadap bahasa kedua sangat tergantung pada sering tidaknya dia menggunakan bahasa kedua itu. Penguasaannya atas bahasa kedua itu sedikit banyak akan berpengaruh pada dirinya saat bicara. Kelancarannya bertutur dalam tiap-tiap bahasa menentukan kesiapan untuk memakai bahasa-bahasa yang dikuasainya secara bergantian.

Penguasaaan seseorang terhadap bahasa pada umumnya tampak saat bertutur. Seseorang yang bertutur dalam bahasa ibunya, diselipi oleh kata-kata bahasa kedua yang dikuasainya. dan Sembiring dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), menyebutnya sebagai alih kode (code-switching). Alih kode disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain, karena orang yang bersangkutan berlatih menggunakan suatu bahasa tertentu dalam membicarakan suatu pokok pembicaraan tertentu. Atau karena kurangnya kata atau istilah dalam salah satu bahasa yang dikuasainya untuk mengungkapkan gagasannya. Contoh alih kode adalah sebagai berikut.

a. A. San, kemarin saya tunggu sampai satu jam, kamu tidak datangdatang. Aduh, nyeri hate pisan! Kalau memang tidak bisa datang tidak usah janji.

B. Ya, Esih. Makanya saya sekarang ke sini saya mau minta maaf, punten pisan! Seueur pisan tamu di rorompok!

b. A Dik, saya dengar kabar selentingan, lo! Wanneer vertrek je naar Holland? Nanti saya titip surat, ya?

B. Silakan, Mbak.

3. Lingua Franca

Pasti kalian sering bertemu dengan orang yang berasal dari satu suku. Bahasa apa yang kalian gunakan ketika bertutur (berkomunikasi). Pada umumnya saat orang Indonesia bertemu dengan orang yang sedaerahnya (satu suku bangsa), mereka menggunakan bahasa ibu mereka, yaitu bahasa daerahnya. Cobalah perhatikan orang lain atau orang tuamu, bahasa apa yang mereka gunakan saat bertemu dengan orang sedaerahnya atau orang satu sukunya?

Lantas bahasa apa yang digunakan, saat dua orang dari masyarakat bahasa yang berlainan bertemu? Orang Makasar bertemu dengan orang Jawa. Orang Batak bertemu dengan orang Sunda. Orang Ambon bertemu orang Madura, dan sebagainya. Bahasa apa yang mereka gunakan untuk berkomunikasi? Bahasa daerahnya, tidak mungkin, karena tidak dimengerti oleh peserta tutur lainnya. Pada umumnya saat dua atau beberapa orang dari masyarakat bahasa yang berbeda bertemu, mereka menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa titik temu kedua belah pihak yang memiliki bahasa ibu yang berbeda dan keduanya tidak dapat berkomunikasi menggunakan satu pun di antara bahasa ibu mereka. Saat situasi dan kondisi demikian, bahasa titik temu itu disebut dengan bahasa lingua franca. Bagi masyarakat Indonesia, bahasa lingua franca adalah bahasa Indonesia.

4. Pijin (Pidgin)

Menurut B. Suhardi dan B. Cornelius Sembiring dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), pijin merupakan ragam bahasa yang tidak memiliki penutur asli. Munculnya bahasa pijin bermula dari bertemunya dua pihak yang ingin berkomunikasi satu sama lain, tetapi sangat berbeda bahasanya. Mereka tidak menggunakan bahasa ketiga sebagai bahasa perantara, tetapi mereka menggabungkan bahasa mereka menjadi bahasa sendiri yang disebut Pijin. Pijin pada umumnya digunakan sebagai alat komunikasi antara imigran dan orang-orang lokal atau penduduk asli. Sehingga keduanya dapat mengerti tanpa mempelajari bahasa dari kelompok lain. Diperkirakan ada seratus pijin di dunia ini. Kebanyakan pijin dipengaruhi oleh bahasa-bahasa Eropa, seperti bahasa Inggris, Spanyol dan Prancis. Contoh pijin yang terkenal adalah adalah pijin Melanesia, seperti Tok Pisin di Papua New Guinea, Bislama di Vanuatu dan Pijin di Solomon Island.

5. Kreol

Seiring dengan perubahan waktu, pijin juga mengalami perubahan menjadi kreol. Pijin yang digunakan oleh generasi pertama kemudia diwariskan kepada generasi berikutnya. Bagi generasi kedua dan seterusnya, pijin berubah kedudukan menjadi bahasa ibu. Pijin yang berubah menjadi bahasa ibu disebut dengan kreol. B. Suhardi dan B. Cornelius Sembiring dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), mengartikan kreol sebagai bahasa pijin yang memiliki penutur asli. Pijin untuk generasi dan kreol untuk generasi baru. Kreol juga mengalami perkembangan dari berbagai aspek kebahasaan. Sehingga lama kelamaan, pijin sudah mulai sejajar dengan bahasa-bahasa lain di negara yang memilikinya. Tata bahasa dan kosakata kreol mulai rumit dan kompleks.

Analogi Budaya 7 :

Coba kembangkan orientasi kecakapan hidup pada diri kalian!

Buatlah kelompok diskusi untuk membahas tentang penggunaan bahasa ibu atau bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan kesatuan bangsa. Kemukakan pendapat kalian disertai dengan argumentasi dan solusi untuk memecahkan persoalan seputar perbedaan atau keragaman bahasa! Setelah menjadi kesimpulan kelompok maka presentasikan pendapat kelompok kalian di depan kelas!

G. Tradisi Lisan

Ada dua wujud bahasa, yaitu bahasa lisan dan tulis. Bahasa lisan telah digunakan sejak awal peradaban manusia. Beberapa lama kemudian manusia menemukan dan mengenal bahasa tulis. Penggunaan bahasa lisan dan tulis dari dahulu hingga sekarang melahirkan tradisi lisan dan tulis. Di antara banyak bahasa dan dialek di Indonesia, hanya delapan yang memiliki tradisi sastra tulis, diantaranya adalah tradisi tulis Melayu, tradisi tulis Aceh, tradisi tulis Bali, tradisi tulis Sunda, tradisi tulis Sumatera Selatan, tradisi tulis Batak, dan tradisi tulis Sulawesi Selatan (Indonesia Heritage, Jilid 10, 2002)

Sebagian besar masyarakat Indonesia masih sangat mengandalkan tradisi lisan dalam hal pemeliharaan dan pewarisan budaya masyarakat dari generasi ke generasi. Seperti pemeliharaan dan penyampaian ilmu pengetahuan, adat istiadat, sejarah, filsafat moral, agama, kedudukan sosial, dan norma-norma masyarakat. Tradisi lisan menjelma dalam kisah-kisah lisan di berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai nama. 

Kisah lisan memiliki beberapa ciri yang lazim. Biasanya banyak sekali –panjang lebar dan berlebihan dalam bahasa – menggunakan pola dan susunan baku untuk membantu pencerita memproses ucapan dan mengingat teksnya. Cerita tersusun dari serangkaian peristiwa yang benar-benar terjadi, dongeng khayalan atau teks keagamaan. Pencerita mengikuti kerangka kerja dasar, tetapi tak ada dua pencerita yang menceritakan satu kisah dengan cara yang sama. Mereka akan menambahkan gaya dan sikapnya sendiri, memperbesar peran tokohtokoh tertentu yang mereka sukai (atau memperkecil yang tidak mereka sukai) atau menambah kelucuannya, tergantung pada khalayak pendengarnya (Indonesian Heritage, jilid 10 2002).

Peran sang pencerita (penutur) dan kedudukannya di masyarakat tergantung pada setiap masyarakat. Pada beberapa masyarakat, para pencerita diperlakukan sebagai dukun atau saman yang berhubungan langsung dengan dewa. Di Indonesia kini, tradisi lisan harus bersaing dengan cetakan, radio, televisi dan film. Sementara pendidikan massal, yang terutama dilakukan dalam bahasa Indonesia, bahasa resmi negara, cenderung menekankan yang sudah dominan, kebudayaan sastra dengan mengorbankan yang kurang non sastra. Meneruskan pengetahuan yang terwujud dalam teks lisan, “Tulisan lidah”, merupakan tantangan bagi kebudayaan Indonesia yang sedang berubah sekarang (Indonesian Heritage, jilid 10, 2002)

Analogi Budaya 8 :

Coba kembangkan keingintahuan dan orientasi kecakapan pada diri kalian.

Berkembangnya industri penerbitan terutama untuk media cetak seperti koran, majalah, buku, dan sebagainya, akhir-akhir ini apakah mempengaruhi perkembangan tradisi lisan yang ada? Coba amatilah mengapa generasi remaja sekarang lebih senang dengan budaya pop atau modern seperti novel, sinetron, dan sebagainya dibandingkan dengan seni budaya tradisional? Kemudian apakah kalian sendiri juga masih senang dengan seni budaya tradisional? Coba peragakan salah satu seni budaya tradisional yang kalian kuasai!

Tradisi lisan melahirkan cerita rakyat, seperti mitos, legenda dan dongeng.

1. Mitos

Mitos adalah cerita tentang peristiwa-peristiwa semihistoris yang menerangkan masalah-masalah akhir kehidupan manusia. Setiap masyarakat pasti memiliki mitos, mitos pada dasarnya bersifat religius, karena memberi rasio pada kepercayaan dan praktek keagamaan. Mitos selalu bertemakan masalah pokok kehidupan manusia, seperti darimana asal manusia dan segala sesuatu yang ada di dunia ini; mengapa manusia ada di bumi, dan ke mana tujuan manusia? Mitos memberikan gambaran dan penjelasan tentang alam semesta yang teratur, yang merupakan latar belakang perilaku yang teratur.

Berikut ini disajikan contoh mitos tentang asal mula segala sesuatu menurut alam pikiran suku Fon di Dahomey, Afrika Barat. “Pada asal mulanya bintang-bintang kelihatan pada malam maupun siang hari.

Bintang malam hari adalah anak-anak bulan, dan bintang siang hari anakanak matahari. Pada suatu hari bulan memberi tahu matahari bahwa anak-anak mereka ingin bersinar melebihi mereka. Untuk menghindarkan hal itu mereka sepakat mengikat bintang itu dalam karung dan melemparkannya ke samudera. Matahari mengerjakan yang pertama, dan membersihkan langit dari bintang-bintang siang hari. Akan tetapi, bulan yang busuk itu tidak memenuhi kewajibannya dan membiarkan semua anak-anaknya di langit malam. Anak-anak matahari menjadi ikan-ikan yang berwarna cerah di samudera. Sejak itu matahari menjadi bebuyutan bulan, yang dikejar-kejarnya untuk membalas dendam karena kematian bintang-bintang di lautan”.

2. Legenda

Legenda adalah cerita semihistoris yang turun temurun dari zaman dahulu, yang menceritakan perbuatan-perbuatan pahlawan, perpindahan penduduk dan pembentukan adat kebiasaan lokal. Legenda merupakan campuran antara realisme dan supernatural, perpaduan antara rasional dan irrasional. Fungsi legenda adalah untuk menghibur dan memberi pelajaran serta membangkitkan atau menambahkan kebanggaan orang terhadap keluarga, suku atau bangsanya.

Berikut ini disajikan contoh legenda pendek yang memberi pelajaran, milik orang Abenakis Barat, yang berada di bagian barat laut New England, Quebec Selatan. “Ini cerita tentang seorang anak laki-laki yang kesunyian yang biasanya berjalan-jalan ke tepi sungai di Odanak atau turun bukit menuju kedua rawa di tempat itu. Ia biasanya mendengar orang memanggil namanya, tetapi kalau ia sampai di koam rawa-rawa itu, tidak ada orang yang kelihatan atau terdengar. Akan tetapi kalau ia berjalan pulang, ia mendengar namanya dipanggil-panggil lagi. Ketika ia sedang duduk menunggu di tepi rawa datanglah seorang laki-laki yang bertanya kepadanya, mengapa ia menunggu? Ketika anak itu menceritakan kepadanya, orang tua itu berkata bahwa hal yang sama terjadi pada zaman dahulu, apa yang didengarnya itu adalah makhluk rawa dan menunjukkan rerumputan tinggi sebagai tempatnya bersembunyi. Sesudah memanggil ia akan menenggelamkan diri di belakang mereka, orang tua itu berkata, makhluk itu hanya ingin menenggelamkan kamu. Kalau kamu pergi ke sana, kamu akan terbenam di dalam lumpur. Lebih baik pulang saja”.

3. Dongeng

Dongeng adalah cerita kreatif yang diakui sebagai khayalan yang bertujuan untuk menghibur. Dongeng bukanlah sejarah. Meskipun demikian, dongeng berisi wejangan atau memberi pelajaran praktis kepada masyarakat.

Berikut ini disajikan contoh dongeng dari Ghana, berjudul Bapak, Anak dan Keledai. 

“Seorang ayah dan anaknya laki-laki menanam jagung; menjualnya, dan menggunakan sebagian keuntungannya untuk membeli keledai. Ketika musim kemarau tiba, mereka memanen talas dan bersiap-siap mengangkutnya ke lumbung dengan menggunakan keledai mereka. Si ayah naik di atas keledai dan mereka bertiga memulai perjalanannya. Sampai mereka berjumpa dengan beberapa orang. Heh, kau orang malas! Kata orang-orang itu kepada si ayah. Kau biarkan anakmu yang masih muda itu berjalan bertelanjang kaki di tanah yang panas itu, sedang kamu duduk di atas keledai? Tidak malu engkau! Si ayah memberikan tempatnya kepada anaknya dan mereka meneruskan perjalanan mereka bertemu dengan seorang wanita tua. Apa? Anak tidak berguna, kata wanita itu. Kau biarkan ayahmu berjalan tanpa alas kaki di tanah yang panas ini? Tidak malukah engkau. Anaknya turun, dan ayah maupun anaknya berjalan kaki, dan ketika mereka menuntun keledai itu di belakang mereka, mereka berjumpa dengan seorang laki-laki tua. Heh? Kau orang-orang goblok, kata laki-laki tua itu. Kau punya keledai dan kau berjalan tanpa alas kaki di tanah itu, dan tidak menaiki keledaimu? Dan demikianlah seterusnya. Dengarlah kalau kamu mengerjakan sesuatu dan orang lain lewat, kerjakanlah saja apa yang kau sukai”.

Analogi Budaya 9 :

Coba kembangkan etos kerja, dan wawasan kebinekaan serta orientasi kecakapan hidup pada diri kalian.

Maraknya acara drama modern, sinetron, dan film-film yang beredar di masyarakat tidak semuanya bersifat mendidik dan berdampak positif. Bahkan dengan adanya beberapa tayangan acara tersebut dapat menumbuhkan dampak negatif bahkan keresahan dalam masyarakat. Coba diskusikan dengan teman-teman kalian dan berikan solusi yang tepat supaya acara-acara cerita modern sekarang ini dapat memberikan pengaruh yang positif bagi perkembangan masyarakat serta keberadaan tradisi lisan tetap dapat terjaga kelestariannya meskipun harus menghadapi persaingan dengan budaya pop yang lebih modern. Selanjutnya setiap bulan sekali coba kalian mengadakan pertunjukkan kelas tentang tradisi lisan. kegiatan tersebut dapat mengasah kecakapan dan keterampilan kalian.

H. Contoh-contoh Tradisi Lisan

Indonesia terdiri dari bermacam-macam masyarakat bahasa. Setiap masyarakat bahasa di Indonesia memiliki tradisi lisan, baik yang berupa mitos, legenda dan dongeng yang dipentaskan berbagai seni pertunjukan sebagai sarana pewarisan dan pengembangan kebudayaan dari generasi ke generasi. Berikut ini disajikan beberapa contoh tradisi lisan dalam beberapa masyarakat bahasa yang ada di Indonesia, disarikan dari Indonesian Heritage, jilid 10 (2002).

1. Wayang Kulit

Wayang kulit adalah teater boneka bayang-bayang di Indonesia. Kumpulan lakonnya banyak bersumber dari legenda dan kisah lisan sastra dari tradisi India dan Jawa. Wayang kulit disukai di Bali, Sumatera Selatan dan Jawa Barat, namun Jawa Tengah dianggap sebagian tempat asal bentuk teater ini. Dalang atau pemain boneka menggelar pertunjukkan di depan layar lebar dan menghidupkan wayang-wayangnya dengan menirukan berbagai suara dan bunyi-bunyian.

Wayang terbuat dari kulit tipis dan ukuran tingginya mulai enam inci hingga lebih dari tiga kaki. Bentuk tubuh, ukuran, pewarnaan, jenis hiasan kepala, dan gaya pakaian bagi tokoh dibakukan oleh tradisi, sehingga tiap tokoh jelas dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Yang penting dari wayang bukan tokohnya melainkan gunungan-nya “Pohon kehidupan”, yang digunakan oleh dalang untuk menandai pembukaan ataupun pertunjukkan ataupun perubahan adegan.

Pertunjukan wayang digelar oleh pemain tunggal yang disebut dengan dalang. Dalang tidak hanya menguasai percakapan semua wayangnya, tetapi juga harus bercerita di antara adegan, melantunkan suluk untuk menciptakan suasana yang pas, dan mengarahkan gamelan pengiring pertunjukkan. Semuanya harus dilakukan selama memainkan wayang. Di atas dalang tergantung lampu, sinarnya jatuh pada boneka yang terukir untuk menghadirkan bayangan pada layar putih (kelir). Bayang-bayang yang tampak bergerak di sepanjang kelir, menari, bercinta atau berkelahi satu sama lain. Melalui keterampilan seni sang dalang, mereka meluncur keluar dari kegelapan, mempesona penonton dan menghilang secara gaib ke tempat asal mereka.

Dalang sering berpuasa sehari sebelum pertunjukan. Selama pertunjukan ia minum sedikit teh untuk mengurangi ketegangan suaranya. Ia tidak bergeming dari tempat duduknya. Pertunjukkan dimulai dengan meletakkan sesaji (sajen) bunga, beras dan kemenyan diletakkan di depan layar. Dalang berdoa untuk memastikan keberhasilan pertunjukkannya. Dalang mengambil wayang berbentuk daun besar yang disebut gunungan (kayon), menyentuhkannya ke dahi serta meletakkannya di sebelah kanan atau kiri layar, ditancapkan tegak ke dalam sebatang gedebok pisang dan pertunjukan dimulai. Gerakan permainan dan nyanyian diiringi oleh gamelan lengkap. Lirik lagu dan sebagian cerita dituturkan dalam bahasa Kawi arkais dan sulit dimengerti. Dalang mengimprovisasi banyak dialog, sementara kisahan dan adengan baku tertentu terdiri dari ucapan pengisahan.

2. Mak Yong

Tradisi teater Mak Yong berasal dari Pattani di Muangthai Selatan mulai abad ke – 16 dan menyebar ke selatan melalui Semenanjung Melayu ke Singapura dan tempat-tempat yang sekarang disebut provinsi Riau, Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Mak Yong disebut teater terindah karena menggabungkan banyak unsur pertunjukan seperti drama, tari, musik, mimik, dan sebagainya. Aslinya Mak Yong dipertunjukkan bagi kelas atas di istana sultan, khususnya di Kelantan (sekarang Malaysia bagian timur laut) dan Raiu-Lingga, jantung peradaban Melayu hingga tahun 1700-an.

Fungsi Mak Yong memberi penghormatan kepada Yang Mahakuasa. Sultan dan isterinya merupakan wakil Tuhan di bumi. Pertunjukan untuk sultan sebenarnya merupakan persembahan kepada Tuhan. Bahkan kini Mak Yong dianggap suci, dan pertunjukan selalu diawali dengan panjak atau bomoh (seorang pemain gamelan) membaca doa. Setelah berdoa penari dan pemusik mengambil tempat masing-masing beralas tikar di atas panggung. Unsur ritual dilengkapi oleh gong, topeng serta penari diperciki air suci. Penari yang berperan ratu (Mak Yong) dan putri (putri Mak Yong) memanjatkan doa, memberi sesaji yang akan memberi mereka kepercayaan diri dan membuat mereka menarik serta mampu menguasai keseluruhan pertunjukkan. Di akhir pertunjukan, sang panjak (seorang pemain gamelan) membaca doa lagi untuk mengumumkan akhir pertunjukkan dan minta dewa-dewa kembali ke surga mereka.

Seluruh pemain Mak Yong duduk di pinggir daerah permainan. Perempuan sebelah kanan, laki-laki sebelah kiri. Alat musik ada di antara mereka. Musik paduan suara dan instrumental merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Mak Yong, sebagai penanda perubahan episode dan adegan. Lagu-lagu Mak Yong kira-kira berjumlah 30. Orkesnya terdiri atas sekitar selusin alat; dua gendang berukuran ibu dan anak, beberapa
tambur gedomba yang lebih kecil, gong dengan bermacam bentuk, canang, sebuah serunai, dan kadang-kadang rebab bersenar yang biasanya merupakan alat utama.

Pemain yang memerankan raja memberikan pengumuman dengan cara menghadapkan telapak tangannya ke luar setinggi pinggang. Tangannya melingkar ke dalam, keluar lagi dan berakhir dengan semua jarinya kecuali jempol bergeliat perlahan sekali. Gerakan itu bermakna raja sedang mengeluarkan titah atau ksatria sedang menyerap kebaikan dari luar dan menolak kejahatan. Para lelaki tidak menari, tetapi melawak dengan cara yang aneh dan lucu. Mak Yong menggunakan sedikit peralatan panggung. Bilai, seikat batang bambu atau rotan, digunakan oleh tokoh utama sebagai tongkat wasiat untuk memukuli punakawan untuk menunjukkan siapa raja (pangeran atau ratu) dan siapa si tolol.

3. Didong

Didong adalah bentuk kesenian tradisional orang Gayo di daerah bagian tengah provinsi Riau di Sumatera. Kata didong dipercaya berasal dari dendang yang berarti sama dengan denang dan donang dalam bahasa Gayo, berarti menghibur diri sendiri dengan menyanyi diiringi musik sambil bekerja. Didong meliputi seni sastra, suara dan tari.  Pemain menyanyikan syair atau sajak dengan mengikuti iringan musik khusus. Pertunjukkan diperindah dengan gerakan lengan, kepala dan badan.

Kelompok didong umumnya terdiri atas 30-35 orang, duduk berkeliling selama pertunjukkan. Empat atau enam di antara mereka dikenal sebagai ceh. Mereka merupakan penyanyi didong. Seorang ceh harus dapat menggubah lagu dan syair serta menyanyikan gubahannya. Pertunjukan didong sering berbentuk pertandingan antara dua kelompok yang harus saling berbalas sindiran dan cemoohan. Pada awalnya didong diadakan sebagai bagian dari keramaian untuk merayakan perkawinan, hari-hari libur penting dan upacara tradisional lainnya. Kemudian berubah menjadi cara untuk menghormati dan menghibur tamu.

Pertunjukan didong diadakan sebagai hiburan umum dengan bantuan panitia. Panitia mencari dana untuk membangun mesjid atau sekolah. Pertunjukkannya akan diadakan beberapa malam. Karcis dijual, dan untuk
menarik pembeli, acara mengentengahkan kelompok-kelompok didong terkenal. Pertandingan didong memakan waktu hampir sepanjang malam dengan dua kelompok yang bertanding tampil bergantian. Tiap kelompok diberi waktu 30 menit setiap pergelaran. Kedua kelompok melakukan pergelaran bersama, sambil memberi setiap ceh kul (ceh besar) kesempatan menggelar sajak permintaan maafnya atas sindiran dan cemoohan yang tidak dimaksudkan sebagai hinaan. Pemenang ditetapkan oleh juri yang khusus ditunjuk untuk menghakimi pertandingan. Juri terdiri atas tiga orang ahli kesenian didong dan diketahui bersikap netral dan objektif.

4. Tanggomo

Tanggomo merupakan bentuk puitis sastra lisan Gorontalo, Sulawesi Utara. Syair Tanggomo menceritakan kisah yang sedang hangat atau peristiwa menarik setempat, mempunyai banyak penganut. Selain menghibur, tanggomo juga memberi penerangan. Tanggomo merekam peristiwa sejarah, mitos, legenda, kisah keagamaan dan pendidikan. Secara harfiah, tanggomo berarti menampung; dan penyanyi tanggomo (ta motanggomo) menampung minat penonton, menyampaikan cerita dengan semenarik mungkin.

Tanggomo merekam peristiwa, yang terjadi di dalam atau di luar Gorontalo, kemudian disebarkan oleh si pencerita sebagai berita untuk dinikmati oleh pendengar. Di samping menyediakan informasi, tanggomo juga menawarkan hiburan bagi pendengar. Ta motanggomo tidak hanya mengambil peritiwa yang yang terjadi untuk bahan syair. Sumber cerita tanggomo juga meliputi dongeng, mitos dan legenda, peristiwa rekaan dan ajaran agama atau kepercayaan yang berkembang di masyarakat.

Pada saat penuturan, ta motanggomo membuat ceritanya lebih nyata dengan bermacam cara dan gaya. Pendongeng diiringi alat musik seperti gambus, (semacam kecapi, enam senar), kecapi (sitar) dan rebana. Pendongan juga dapat menuturkan ceritanya tanpa alat musik, tetapi ia menggunakan gerakan tangan, kepala, muka, permainan suara, nada dan irama untuk menghidupkan ceritanya. Ta motanggomo menggunakan gaya bahasa, misalnya, paralelisme, pembalikan, ellipsis, dan analogi untuk meningkatkan cerita dan memperkuat makna.

5. Rabab Pariaman

Rabab Pariaman merupakan tradisi pertunjukkan lisan dari Sumatera Barat. Penyampaian cerita dipersembahkan dalam bentuk nyanyian oleh tukang rabab, yang selalu laki-laki. Tukang rabab semuanya pribumi Pariaman. Tukang rabab duduk bersila, rabab dipegang berdiri di depannya, lehernya dijepit kendur antara jempol kiri dan jari-jari lain agar ia juga dapat memetik senarnya, dan penggeseknya di tangan kanan. Pertunjukkan biasanya diadakan pada malam hari setelah salat Isya dan berakhir tak lama sebelum salat subuh. Panggung dapat berupa tempat berkumpul yang mana saja dengan suasana tradisional, di dalam atau di luar – warung kopi (lapau), pesta perkawinan, perayaan nagari, dan pesta-pesta untuk merayakan pengangkatan seorang penghulu baru (pemimpin satuan matrilineal).

Rabab Pariaman pernah memiliki sifat keagamaan. Pada saat ini Rabab Pariaman mengambil nuansa yang lebih duniawi dan tak boleh dimainkan di tempat keagamaan atau di pesta yang bersifat keagamaan. Isi cerita yang disampaikan menyoroti perjuangan untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Tokoh menghadapi kesulitan dalam mencapai keberhasilan dan menimbulkan tanggapan dari penonton. Teks Rabab Pariaman terdiri atas dua unsur, dendang dan kaba. Dendang berbentuk pantun (syair berbaris empat atau lebih) dengan sistem persajakan a-b-a-b. Bagian pertama setiap syair agak tak bermakna, isinya dibagian kedua. Jumlah baris dalam syair selalu genap, kecuali bila ada ulangan pada baris tertentu, tergantung pada irama. Isi dendang mengenai perjuangan, kemiskinan, nasib malang, rindu kampung halaman, dan sebagainya.

Kaba adalah cerita. Ada sejumlah kaba yang dipertunjukkan dalam Rabab Pariaman. Sebagian besar kaba bergaya klasik, dimainkan dengan latar kerajaan dengan tokoh yang berkekuatan gaib. Perlu beberapa malam untuk menyampaikan keseluruhan cerita, kecenderungannya adalah memilih hanya satu episode yang dapat diselesaikan dalam satu malam.

6. Pantun Sunda

Pantun Sunda adalah sebentuk penceritaan bersyair orang Sunda di Jawa Barat. Dipertunjukkan dengan diiringi musik kecapi indung. Cerita cerita pantun merupakan campuran antara percakapan, lagu dan syair cerita, biasanya berbentuk pencarian kerohanian. Tradisi menceritakan pantun Sunda dilaksanakan sebelum atau sesudah upacara tradisional, seperti pernikahan. Pada upacara keagamaan, juru pantun mungkin akan berpuasa selama beberapa hari dan membakar kemenyan sebelum mulai bernyanyi.

Seni menyanyikan pantun merupakan pekerjaan tunggal. Penyanyi menyanyi, mendaki dan menuruni skala pentatonik (lima nada) memetik kecapi indung, “Induk kecapi” berbentuk perahu. Kedelapanbelas senar kecapi dipasang di satu ujung, direntangkan di atas ganjalan kayu kecil ke pasak penata di sisi alat itu. Musik kecapi bagian dari pantun Sunda menandai suasana hati dan perubahan adegan cerita serta menarik perhatian, seperti kecantikan putri atau keberanian pahlawan.

Kebanyakan kisah pantun Sunda, mencampur percakapan dan nyanyian dengan syair cerita, berasal dari masa kerajaan Hindu Pajajaran, sebelum beralih ke Islam akhir abad ke – 16. Pada tingkat yang tertinggi, kisah itu melambangkan perjalanan kerohanian yang dijalani setiap orang dalam hidupnya. Kisah itu dapat dinikmati sebagai dongeng. Juru pantun seringkali berimprovisasi, tergantung seleras penonton. Salah satu pantun Sunda yang paling sering diceritakan adalah lutung kasarung, yang menceritakan tentang lutung dalam kutukan.

Analogi Budaya 10 :

Coba kembangkan wawasan kebinekaan dan orientasi kecakapan pada diri kalian!

Menurut pendapat dan pengalaman kalian. Selama ini apakah tradisi lisan yang banyak sekali terdapat di Indonesia juga bisa digunakan sebagai media untuk mengapresiasi terhadap keanekaragaman agama yang ada? Apakah kalian pernah menyaksikan pertunjukan tradisi lisan yang dapat menambah wawasan dan apresiasi terhadap keanekaragaman agama. Coba kalian peragakan salah satu tradisi lisan yang kalian kenal dan kuasai di depan teman-teman kalian.

I. Asal Usul Bahasa Dunia

Kehadiran teknologi komunikasi, informasi dan transportasi membuat setiap orang memiliki peluang yang sangat besar untuk mendengar pembicaraan dalam bahasa asing, bahasa yang tidak dimengerti sama sekali olehnya. Mungkin beberapa bahasa asing sudah akrab ditelinga kita, meskipun tidak mengetahui artinya. Melalui televisi, setiap hari kita dapat mendengar dan menyaksikan pembicaraan bahasa asing, contoh yang sudah akrab di telinga kita tetapi masih sedikit memahaminya adalah bahasa Inggris, bahasa China, dan berbagai bahasa asing lainnya yang memang asing ditelinga kita.

Berapakah jumlah bahasa di dunia ini? Tentu mengingat ruang lingkupnya yang sangat luas, melibatkan semua masyarakat dan suku bangsa di dunia, maka sangat sulit untuk memberi jawaban yang pasti. Bahkan menurut Comrie (2001) yang dikutip oleh Lucy Ruth Montolalu, Muhadjir dan Multamia RMT Kauder dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Lingustik (2005), belum ada pihak yang dapat menjawab dengan pasti jumlah bahasa di dunia. Buku-buku acuan umumnya menyebut ada sekitar 6.700 bahasa di dunia. Dari 6.700 bahasa, diperkirakan hanya 20 bahasa di dunia yang memiliki penutur dengan jumlah terbanyak di dunia. Dengan perincian sebagai berikut.

1. Bahasa Cina,jumlah penutur 1 miliar orang
2. Bahasa Inggris, jumlah penutur 350 juta orang
3. Bahasa Spanyol, jumlah penutur 250 juta orang
4. Bahasa Hindi, jumlah penutur 200 juta orang
5. Bahasa Arab,jumlah penutur 150 juta orang
6. Bahasa Bengali, jumlah penutur 150 juta orang
7. Bahasa Rusia, jumlah penutur 150 juta orang
8. Bahasa Portugis, jumlah penutur 135 juta orang
9. Bahasa Jepang, jumlah penutur 120 juta orang
10. Bahasa Jerman, jumlah penutur 100 juta orang
11. Bahasa Prancis, jumlah penutur 70 juta orang
12. Bahasa Punjabi, jumlah penutur 70 juta orang
13. Bahasa Jawa, jumlah penutur 65 juta orang
14. Bahasa Bihari, jumlah penutur 65 juta orang
15. Bahasa Italia, jumlah penutur 60 juta orang
16. Bahasa Korea, jumlah penutur 60 juta orang
17. Bahasa Telugu, jumlah penutur 55 juta orang
18. Bahasa Tamil, jumlah penutur 55 juta orang
19. Bahasa Marathi, jumlah penutur 50 juta orang
20. Bahasa Vietnam, jumlah penutur 50 juta orang

Pertanyaan yang muncul dengan keanekaragaman bahasa di dunia ini adalah dari manakah asal usul bahasa yang sangat banyak itu? Apakah bahasa itu tidak memiliki hubungan satu sama lainnya, tumbuh dan berkembang sendiri-sendiri dan terpisah? Atau adakah hubungan di antara bahasa-bahasa di dunia ini, berasal dari satu bahasa berkeebang menjadi ribuan bahasa? Ada satu fakta yang tidak terbantahkan, yaitu adanya kemiripan kata-kata tertentu pada berbagai bahasa di dunia. Perhatikan tabel di bawah ini yang disajikan oleh Lucy Ruth Montolalu, Muhadjir dan Multamia RMT Kauder dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Lingustik (2005),

Indonesia
Toloi
Paanasee
Fiji
Maori
dua
aurua
elu
Rua
rua
tiga
autul
etel
Tolu
toru
empat
aivat
ehat
Va
fa
Lima
ailima
elim
Lima
rima
Batu
vat
ahat
Vatu
kofatu

Bahasa Indonesia adalah behasa negara Indonesia, bahasa Toloi terdapat di Papua, Bahasa Paanase di Vanuatu. Bahasa Fiji di Lautan Pasifik dan bahasa Maori juga di Lautan Pasifik. (Montolalu, Muhadjir dan buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Lingustik (2005). Bila kita perhatikan dengan seksama, meskipun tidak sama, tetapi kita merasakan adanya kemiripan kata dan makna pada kelima bahasa di atas. Apa yang menyebabkan kemiripan kata dan makna dalam kelima bahasa itu?

Montolalu, Muhadjir dan Kauder dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Lingustik (2005), menjawab dengan mengatakan; “Tidak ada kemungkinan untuk saling meminjam kata karena jarak antardaerah yang berjauhan. Kontak satu sama lain pun tidak ada buktinya.” Lalu apa yang menyebabkan kemiripan itu? Apakah hal itu terjadi dengan sendirinya? Salah satu penjelasan yang masuk akal adalah adanya hubungan sejarah (historis) di antara kelima bahasa itu. Pada satu titik waktu di masa lalu, kelima bahasa yang dipaparkan di atas itu merupakan bahasa yang sama, tetapi karena berbagai alasan, kelompok-kelompok penuturnya berpisah. Misalnya saja masyarakat bahasa itu terbagi menjadi lima kelompok dan berpisah satu sama lainnya. Lalu masing-masing kelompok dengan modal bahasa yang sama mengembangkan komunikasinya. Pada akhirnya setiap kelompok memiliki bahasa masing-masing yang mirip tetapi tidak sama.

Untuk menjelaskan asal-usul bahasa di dunia ini, para linguis pada umumnya berteori bahwa pada awalnya di dunia ini hanya ada satu bahasa saja. Seiring dengan tumbuhkembangnya, manusia berpisah menjadi beberapa kelompok besar, kelompok terpisah menjadi beberapa kelompok kecil, kelompok kecil yang menjadi besar kemudian terpisah menjadi beberapa kelompok dan seterusnya. Setiap kelompok yang terpisah itu kemudian mengembangkan bahasanya menurut situasi dan karakteristik geografis, sosial, ekonomi dan teknologi, sehingga lama kelamaan, muncullah bahasa yang unik dan berbeda dengan bahasa asalnya. Akhirnya dari 1 bahasa timbullah ribuan bahasa di dunia.

Sampai saat ini para peneliti masih terus berusaha untuk menemukan bahasa asal pertama bahasa-bahasa di dunia. Langkah maju telah diperoleh. Menurut para ahli, setidaknya ada 3 rumpun besar yang disebut dengan proto di dunia ini, yaitu:

1. Proto Eropa

Rumpun bahasa Eropa terbagi menjadi tiga keluarga besar bahasa, yaitu keluarga bahasa Germania, keluarga bahasa Roman dan keluarga bahasa Rusia. Keluarga bahasa Germania berkembang menjadi bahasa Inggris, Belanda dan Jerman. Keluarga bahasa Roman berkembang menjadi bahasa Prancis, Italia dan bahasa Spanyol.

2. Proto Austronesia

Menurut Lucy Ruth Montolalu, Muhadjir dan Multamia RMT Kauder dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Lingustik (2005), kelompok bahasa rumpun Austronesia meliputi wilayah yang sangat Dari Madagaskar hingga Kepulauan Easter, dan dari Taiwan hingga ke Hawaii ke Selandia Baru. Kelompok ini merupakan kelompok terbesar, baik, keluarga bahasa, maupun penutur. Jumlah bahasanya berkisar antara 500 dan 700 bahasa. Dengan demikian, kalau bahasa dunia berjumlah 6.700 bahasa, sepersepuluh bahasa dunia ada di kelompok rumpun Austronesia.

Menurut Lucy Ruth Montolalu, Muhadjir dan Multamia RMT Kauder dalam buku yang sama, seluruh wilayah pemakaian bahasabahasa rumpun Austronesia terbagi menjadi dua, yaitu kelompok Barat dan kelompok Timur. Kelompok Barat meliputi sekitar 400 bahasa. Kelompok ini terdiri dari bahasa-bahasa Madagaskar, Malaysia, Kepulauan Indonesia, Filipina, Taiwan, sebagian Vietnam dan Kamboja. Sementara itu, Austronesia Timur meliputi bahasa-bahasa Oseania yang meliputi 300 bahasa yang kebanyakan dituturkan di Papua, Melanesia, Mikronesia dan Polinesia.

3. Proto Indo – Pasifik

Menurut Crystal yang dikutip oleh Lucy Ruth Montolalu, Muhadjir dan Multamia RMT Kauder dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Lingustik (2005), rumpun Indo-Pasifik meliputi sekitar 650 bahasa yang dituturkan di Papua dan 100 bahasa lain yang dituturkan di pulau-pulau sebelah barat dan timur, yang tidak termasuk rumpun bahasa Austronesia. Bahasa-bahasa Andaman di Pulau Andaman di Teluk Benggala dan bahasa Tasmanis di Pulau Tasmania, Australia Selatan, juga termasuk keluarga bahasa Indo – Pasifik. Lebih dari separuh bahasa-bahasa rumpun Indo – Pasifik telah memperlihatkan kekerabatannya, terutama yang berada di New Guinea Tengah. Masih ada sebagian wilayah New Guinea yang belum terjangkau, masih ada suku-suku terasing yang belum dapat ditemui, dan bahasa-bahasa mereka tentunya belum dapat dideteksi.

J. Asal usul Bahasa Di Indonesia

Bila setiap suku bangsa di Indonesia memiliki bahasa masyarakat sendiri, maka dapat dipastikan bahwa masyarakat memiliki bahasa daerah yang beranekaragam di samping bahasa Indonesia. Tetapi sampai saat ini tidak ada angka pasti mengenai jumlah bahasa yang ada di Indonesia. Indonesian Heritage, jilid 10 (2002) memberi perkiraan bahwa jumlah bahasa daerah Indonesia berkisar antara 69 sampai dengan 578. Telah ada beberapa penelitian terhadap bahasa daerah, diantaranya bahasa kelompok etnis Jawa, Sunda, Madura, Mingkabau, Batak, Bali, Bugis dan Banjar.

Dari manakah asal-usul bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang ada di Indonesia? Dari uraian di atas, setidaknya kita sudah memperoleh gambaran yang harus dipertegas, yaitu bahasa Indonesia berasal dari Proto Austronesia dan Proto Indo – Pasifik. Bahasa rumpun Austronesia menyebar menjadi bahasa-bahasa daerah di berbagai wilayah Indonesia. Sementara Proto Indo – Pacifik menyebar menjadi bahasa daerah di Papua. Dengan demikian adapat disimpulkan bahwa bahasa Indonesia dan bahasa – bahasa daerah yang ada di Indonesia berasal dari dua rumpun besar bahasa di dunia, yaitu Proto Austronesia dan Proto Indo – Pasifik.

Dari manakah asal-usul pertama bahasa di dunia ini? Menurut Comrie (2001) yang dikutip oleh Lucy Ruth Montolalu, Muhadjir dan Multamia RMT Kauder dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Lingustik (2005), dari sekitar 6.700 bahasa di dunia, terdapat 17 rumpun bahasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumpun bahasa yang tertua di dunia ini adalah bahasa-bahasa Afrika, yaitu Niger-Kordofani, Nilo-Sahara, Khoisan, dan Afro-Asiatika. Dari keempat bahasa tersebut, yang dianggap sebagai bahasa yang tertua adalah bahasa Khoisa. Dengan demikian diperkirakan bahwa kelompok Khoisa adalah keturunan orang pertama yang melakukan ekspansi keluar dari Afrika menuju Asia.

Perkiraan mengenai asal-usul bahasa yang ada di Indonesia dapat dibandingkan dengan keterangan mengenai asal-usul orang Indonesia. Menurut Koenjaraningrat (1999), “Manusia Indonesia yang tertua sudah ada kira-kira satu juta tahun yang lalu, waktu Dataran Sunda masih merupakan daratan, dan waktu Asia Tenggara bagian benua dan bagian kepulauan masih menjadi satu”. Berdasarkan fosil-fosil yang ditemukan, seperti Pithecanthropus Erectus dan Homo Soloensis serta Homo Wajakensis dipastikan bahwa manusia Indonesia tertua berasal dari Australia Selatan dengan ciri-ciri fisik Austro-Melanesoid. Koenjaraningrat (1999) juga menegaskan, bahwa sebagian penduduk tertua Indonesia ditemukan juga ciri-ciri Mongoloid. Berdasarkan ciri-ciri ini dipastikan bahwa sebagian penduduk tertua Indonesia ada juga yang berasal dari benua Asia. Penyebaran orang dengan ciri-ciri Mongolia ke nusantara menempuh jalan yang sama dengan penyebaran orang-orang yang berciri Austro – Melanoid.

No.
Bahasa Daerah
Penutur
1.
Jawa
75.000.000
2.
Melayu
28.000.000
3.
Sunda
27.000.000
4.
Madura
9.000.000
5.
Minangkabau
6.500.000
6.
Bali
6.000.000
7.
Bugis
3.600.000
8.
Banjar
2.100.000
9.
Sasak
2.100.000
10.
Batak Toba
2.000.000

Asal-usul orang Indonesia berasal dari Austro – Melanesoid di benua Australia dan dari orang-orang Mongolia di Benua Asia. Asal-usul bahasa Indonesia terdiri dari dua rumpun besar bahasa, yaitu rumpun Austronesia dan Indo – Pacifik. Masuknya bahasa rumpun Austronesia dibawa oleh orang-orang Austro – Melanesoid yang menyebar dan masuk sampai Indonesia. Masuknya rumpun bahasa Indo – Pacifik dibawa oleh orangorang Mongolia yang berasal dari Benua Asia dan menyebar sampai Indonesia. Pertanyaan selanjutnya adalah dari manakah asal-usul orang Austro – Melanesoid dan orang Mongolia? Mungkinkah berasal dari Afrika, khususnya orang Khoisa? Kalian sendiri yang harus meneliti dan memastikannya.

Tak ada yang tahu pasti berapa bahasa daerah di Indonesia. Tak ada daftar nama baku untuk bahasa-bahasa itu, tak ada statistik yang mudah di dapat tentang jumlah orang yang menuturkan bahasa tertentu, dan tak ada peta yang memastikan di daerah mana bahasa-bahasa tertentu dituturkan. Sebagian besar penelitian atas bahasa daerah di Indonesia terbatas pada bahasa kelompok etnis besar saja; Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Batak, Bali, Bugis dan Banjar. Perkiraan jumlah bahasa daerah yang dapat ditemukan di Indonesia berkisar dari angka terendah 69 sampai tertinggi 578 (Indonesian Heritage, jilid 10, 2002). Berikut ini disajikan gambaran beberapa bahasa daerah di Indonesia berdasarkan jumlah penuturnya.

1. Bahasa Jawa

Menurut Hidayah (1999), orang Jawa sering menyebut dirinya Wong Jowo atau Tiang Jawa. Jumlah populasinya paling banyak dibandingkan dengan suku-suku bangsa lain, dan wilayah asal serta wilayah persebarannya di seluruh Indonesia juga paling luas. Pada pembicaraan sehari-hari orang Jawa digunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Menurut Koentjaraningrat (1999), pada waktu mengucapkan bahasa Jawa, seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia dan status sosialnya.

Menurut Koentjaraningrat (1999), bila ditinjau dari tingkatannya, bahasa Jawa terdiri dari bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Jawa Krama. Bahasa Jawa Ngoko dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab, dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajat atau status sosialnya. Bahasa Jawa Krama dipergunakan untuk bicara dengan orang yang belum dikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur maupun derajat, dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur serta status sosialnya. Dari kedua macam derajat bahasa ini, timbul berbagai variasi dan kombinasi dalam bahasa Jawa, yang terletak di antara bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Krama, yaitu bahasa Jawa Madya Ngoko, bahasa Jawa Madya antara dan Bahasa Jawa Madya Krama. Jenis lainnya dari bahasa Jawa adalah bahasa Krama Inggil, terdiri dari 300 kata-kata yang dipakai untuk menyebut nama-nama anggota badan, aktivitas, benda milik, sifat-sifat dan emosiemosi dari orang-orang yang lebih tua umur atau lebih tinggi derajat sosial.

Jenis lainnya lagi adalah Kedaton (atau bahasa Bagongan) yang khusus dipergunakan di kalangan istana. Jenis lainnya adalah bahasa Jawa Krama Desa atau bahasa orang-orang di desa-desa. Akhirnya bahasa Jawa Kasar yakni salah satu macam bahasa daerah yang diucapkan oleh orang-orang yang sedang dalam keadaan marah atau mengumpat seseorang.

2. Bahasa Bali

Suku bangsa Bali atau Bali Hindu mendiami Pulau Bali yang sekarang menjadi sebuah provinsi dengan delapan buah kabupaten. Pulau yang terdiri dari dataran rendah dikelilingi bagian pesisir dan daerah perbukitan serta pengunungan di bagian Tengah. Suku bangsa Bali menggunakan bahasa Bali dalam percakapan sehari-hari. Bahasa Bali terdiri dari beberapa dialek, yaitu dialek Buleleng, Karangasem, Klungkung, Bangli, Gianyar, Badung, Tabanan dan Jembrana. (Hidayah, 1999).

Peninggalan-peninggalan prasasti dari zaman Bali–Hindu menunjukkan adanya suatu bahasa Bali Kuno yang agak berbeda dengan bahasa Bali sekarang. Bahasa Bali kuno di samping mengandung banyak kata-kata sansekerta, pada masanya terpengaruh oleh bahasa Jawa Kuno dari zaman Majapahit, ialah zaman di mana pengaruh Jawa besar sekali kepada kebudayaan Bali. Bahasa Bali mengenal apa yang disebut “Perbendaharaan kata-kata hormat”, walaupun tidak sebanyak seperti di dalam bahasa Jawa. Bahasa hormat (basa alus) yang dipakai kalau berbicara dengan orang-orang tua atau tinggi, telah mengalami beberapa perubahan akibat pengaruh modernisasi dan cita-cita demokrasi akhir-akhir ini (Koentjaraningrat, 1999).

3. Bahasa Minangkabau

Daerah asal dari kebudayaan Minangkabau kira-kira seluas daerah propinsi Sumatera Barat sekarang ini, dengan dikurangi daerah kepulauan Mentawai. Umumnya orang Minangkabau mencoba menghubungkan keturunan mereka dengan suatu tempat tertentu, yaitu Par(h)iangan, Padang Panjang. Mereka beranggapan bahwa nenek moyang mereka berpindah dari tempat itu dan kemudian menyebar ke daerah penyebaran yang ada sekarang (Koentjaraningrat, 1999).

Bahasa sehari-hari Mingkabau adalah bahasa Minangkabau. Bahasa Minangkabau termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayu Austronesia dengan aturan tata bahasa yang amat dekat dengan bahasa Indonesia, karena itu dekat pula dengan bahasa Melayu Lama yang mendasari bahasa Indonesia. Kata-kata Indonesia dalam bahasa Minangkabau hanya mengalami sedikit perubahan bunyi, seperti tiga menjadi tigo, lurus menjadi luruih, bulat menjadi bulek, empat menjadi ampek, dan sebagainya (Hidayah, 1999).

4. Bahasa Bugis

Kebudayaan Bugis adalah kebudayaan dari suku bangsa Bugis – Makassar yang mendiami bagian terbesar dari Jazirah selatan dari Pulau Sulawesi. Jazirah itu merupakan suatu propinsi, yaitu propinsi Sulawesi Selatan. Penduduk Propinsi Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku bangsa ialah Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar. Percakapan sehari-hari orang Bugis menggunakan bahasa Ugi (Koentjaraningrat, 1999). Orang Bugis sering juga disebut orang Ugi. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Ugi atau bahasa Bugi. Menurut ahli etnolinguistik klasik, Esser, Bahasa Bugis sekelompok dengan bahasa-bahasa orang Lawu, Sa’dan, Mandar, Pitu Ulunna Sallu, Makasar dan Seko. Bahasa Bugis terdiri pula atas beberapa dialek, seperti dialek Bone, Soppeng, Luwuk, Wajo, Bulukumba, Sidenreng, Pare-Pare dan lain-lain. Sejak berabad-abad yang lalu orang Bugis telah mengenal tulisan sendiri yang disebut aksara lontarak, yaitu aksara tradisional yang mungkin berasal dari huruf sansekerta yang ditulis di atas daun lontar (daun sejenis palem) (Hidayah, 1999).

5. Bahasa Melayu

Bahasa Melayu dapat ditemukan di Jambi, Langkat dan Riau. Masyarakat Jambi menggunakan bahasa Melayu Jambi. Masyarakat Langkat menggunakan bahasa Melayu Langkat dan bahasa Melayu Riau menggunakan bahasa Melayu Riau. Menurut Hidayah (1999), Bahasa Melayu yang dipakai di Jambi sangat dekat dengan bahasa Indonesia. Bedanya hanya sedikit, misalnya kata-kata yang berakhiran A dalam
bahasa Indonesia, dalam bahasa Melayu Jambi menjadi O, seperti duga menjadi dugo, mata menjadi mato, kemana menjadi kemano, permata menjadi permato, dan seterusnya.

Orang Melayu Langkat mendiami daerah sepanjang pesisir timur pulau Sumatera, mulai dari daerah Langkat di utara sampai ke Labuhan Batu di selatan. Bahasa mereka adalah bahasa Melayu seperti umumnya dikenal orang di sekitar pantai timur Sumatera dan semenanjung Malaysia. Orang Melayu langkat menggunakan bahasa Melayu dialek langkat yang dicirikan dengan pemakaian huruf E pada akhir kalimat. Selain itu, irama (nada) dalam cara berbicaranya juga memiliki ciri khas yang berbeda dengan bahasa Melayu yang digunakan di daerah lain (Hidayah, 1999).

Suku bangsa Melayu di Riau adalah salah satu keturunan para migran dari daratan Asia bagian tengah. Mereka juga menggunakan bahasa Melayu yang disebut dengan bahasa Melayu Raiu. Bahasa Melayu ini tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia sekarang, malah dianggap sebagai salah satu dasar bahasa Indonesia. Bahasa Melayu Riau disebut juga Bahasa Melayu Tinggi, karena awalnya digunakan sebagai bahasa sastra oleh masyarakat Indonesia pada akhir abad yang lalu. Sebelum mengenal tulisan Latin, masyarakat Melayu Riau menuliskan gagasan mereka dalam tulisan arab – melayu atau arab gundul ( Hidayah, 1999).

K. Sikap dan Kepedulian Terhadap Bahasa, Dialek dan Tradisi Lisan

Pengertian sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu-isu. Sikap merupakan respon seseorang terhadap stimulus sosial yang telah terkondisikan. Sikap seseorang terhadap suatu objek pada umumnya terwujud dalam dua bentuk, yakni suka atau tidak suka, mendukung atau tidak mendukung, dan memihak atau tidak memihak. (Dikutip dari pendapat Petty dan Cacioppo, Louis Thurstone dan La Pierre). Sikap terhadap bahasa, dialek dan tradisi lisan adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap bahasa, dialek dan tradisi lisan.

Sikap manusia terhadap bahasa, dialek, dan tradisi terjelma dalam dua bentuk, yaitu sikap positif dan negatif. Hanya sikap positif, dapat mengantarkan manusia memelihara dan melestarikan serta mengembangkan bahasa, dialek dan tradisi lisan. Sikap positif mempunyai banyak segi dan kombinasi dalam penerapannya dengan setiap keadaan yang mempengaruhi kehidupan kita. Sikap positif menjelma sebagai kepedulian terhadap bahasa, dialek dan tradisi lisan dapat kita pahami dengan memahami paparan berikut.

Sikap positif merupakan tujuan tertentu untuk membuat setiap pengalaman, baik yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, dapat memberikan manfaat yang akan menolong kita untuk selalu memperhatikan dan memperdulikan bahasa, dialek dan tradisi lisan.

Sikap positif adalah kepedulian sebagai kebiasaan mencari hikmah yang tersembunyi dibalik setiap kegagalan, kekalahan atau kemalangan yang kita alami. Sehingga menjadi sesuatu yang bermanfaat dalam memelihara dan melestarikan bahasa, dialek dan tradisi lisan. Hanya sikap positif dapat mendatangkan sesuatu yang bermanfaat dari kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan dalam usaha memelihara, dan mengembangkan bahasa, dialek dan tradisi lisan.

Sikap positif adalah kepedulian dalam bentuk kebiasaan menyibukkan pikiran dengan hal-hal dan keadaan yang diharapkan dalam kehidupan dalam rangka memelihara dan mengembangkan bahasa, dialek dan tradisi lisan. Jauhkan pikiran dari hal-hal yang tidak disenangi yang memunculkan sikap apatis dalam memelihara dan mengembangkan bahasa, dialek dan tradisi lisan. Kebanyakan orang hidup dengan sikap yang dipenuhi ketakutan, kecemasan dan kekhawatiran. Hal ini lama-kelamaan akan mempengaruhi penampilan mereka. Mereka kemudian sering menyalahkan orang lain atas situasi dan kondisi yang menyebabkan hilang dan punahnya suatu bahasa, dialek dan tradisi lisan.

Sikap positif adalah kepedulian dalam wujud kebiasaan mengevaluasi semua masalah dan mampu membedakan mana masalah yang dapat dikuasai dan mana masalah yang tidak dapat dikuasai dalam upaya memelihara dan mengembangkan bahasa, dialek dan tradisi lisan. Seseorang yang mempunyai sikap positif selalu berusaha keras untuk memecahkan masalah-masalah yang dapat dikendalikan. Dalam menghadapi masalah-masalah yang tidak dapat dikendalikan, ia akan berusaha agar sikap mental positifnya tidak berubah menjadi negatif.

Apakah yang dimaksud dengan bahasa? Menurut Kridalaksana dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Lingusitik (2005), bahasa ialah sistem tanda bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerjasama, berkomumikasi dan mengidentifikasi diri. Bahasa memiliki peranan sangat penting dalam kebudayaan manusia. Oleh karena itu bahasa menjadi unsur pertama dan utama dari 7 (tujuh) unsur universal kebudayaan.

Apakah yang dimaksud dengan dialek atau logat? Logat atau dialek adalah gaya berbahasa yang unik dan khas, tampak saat mengucapkan kata-kata oleh seseorang atau sekelompok orang. Logat atau dialek merujuk pada identitas suku bangsa dan daerah tertentu. Contoh dialek pada masyarakat bahasa yang ada di Indonesia adalah dialek Melayu Riau, dialek Minangkabau, dialek Sunda, dialek Jakarta (Betawi), dialek Jawa Cirebon, dialek Jawa Tegal, dialek Bali, dialek Ambon, dialek Batak Karo, dialek Batak Toba, dan lain-lain. Biasanya orang-orang yang memiliki dialek sama akan merasa lebih akrab dan intim bila dibandingkan dengan orang-orang dengan dialek yang berbeda. Dialek membuat orang merasa dan menilai bahwa seseorang adalah kelompokku dan orang lain bukanlah kelompokku. Ada 4 (empat) orang Indonesia yang bertemu di luar negeri, dari empat orang itu, dua orang diantaranya dapat berbahasa dengan menggunakan dialek yang sama, maka persahabatan di antara dua orang itu (memiliki dialek yang sama) akan terasa lebih intim dan akrab bila dibandingkan dengan dua orang lainnya.

Apakah yang dimaksud dengan tradisi lisan? Tradisi adalah adat istiadat dan kebiasaan yang sudah berlangsung turun temurun hingga sudah mendarah daging. Sehingga penyimpangan dari tradisi dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat. Lisan adalah bahasa mulut, kata-kata yang keluar langsung dari mulut orang. Tradisi lisan berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan adat istiadat dan kebiasaan yang mendarah daging yang dilakukan dengan bahasa mulut atau kata-kata yang keluar langsung dari mulut. Tradisi lisan dapat kita lihat dan temukan pada berbagai jenis sastra rakyat yang terdapat di seluruh wilayah Indonesia. Contohnya adalah Wayang Kulit, Didong, Mak Yong, dan sebagainya. Tradisi lisan adalah salah satu saluran pewarisan budaya dari generasi ke generasi berikutnya.

Analogi Budaya 11:

Coba kembangkan etos kerja dan orientasi kecakapan hidup pada diri kalian.

Akhir-akhir ini perkembangan teknologi informasi berkembang sangat pesat dan pengaruh globalisasi tersebut telah melanda di kalangan remaja. Coba diskusikan dengan teman-teman kalian dan berikan solusi yang tepat supaya generasi muda tidak meninggalkan bahasa, dialek dan tradisi lisan yang merupakan warisan budaya bangsa mengingat pengaruh budaya asing sangat kuat terhadap remaja. Coba kalian praktikkan dan lestarikan dalam kehidupan kalian sehari-hari supaya tidak punah.

L. Keadaan Bahasa, Dialek dan Tradisi Lisan

Di mana ada masyarakat di situ ada bahasa. Setiap masyarakat pasti memiliki bahasa. Suku bangsa adalah salah satu contoh masyarakat. Menurut Koentjaraningrat (1999), jumlah suku bangsa Indonesia menurut Zulyani Hidayah ada sebanyak 656, sedangkan menurut J.M. Melalatoa ada sebanyak 500. Bila kita asumsikan setiap satu suku bangsa Indonesia memiliki satu bahasa, maka jumlah bahasa yang ada di Indonesia berkisar antara 500 sampai dengan 656 bahasa. Perkiraan itu membawa kita pada satu kesimpulan bahwa keadaan bahasa di Indonesia sangat beragam.

Persebaran bahasa-bahasa kesukuan di Indonesia tidaklah sama. Ada bahasa suku yang memiliki persebaran cukup luas karena penyebaran penuturnya yang sangat luas dan terus berkembang. Ada juga bahasa suku yang memiliki persebaran tidak luas juga dikarenakan penyebaran penuturnya yang sangat terbatas. Program pembangunan juga turut mempengaruhi penyebaran bahasa suku, salah satu contohnya adalah transmigrasi. Hal ini semakin mempersulit untuk menentukan secara pasti persebaran suatu bahasa suku.

Kebanyakan orang Indonesia dapat menuturkan dua bahasa. Sering menukar penggunaan bahasa Indonesia, bahasa nasional, dengan (sedikitnya) satu bahasa daerah atau bahasa suku bangsa. Bahasa Nasional dianggap sebagai bahasa resmi, untuk digunakan di sekolah atau di pertemuan resmi. Ada banyak kecualian, tentu saja termasuk upacara dan pertunjukan bahasa daerah harus digunakan. Penggunaan bahasa daerah dipihak lain, lebih sering merupakan norma pada situasi tidak resmi, seperti di rumah dan di dalam urusan antaranggota sesama kelompok suku bangsa. Bahasa Indonesia bukanlah bahasa pertama dari setiap masyarakat suku bangsa Indonesia. Itulah sebabnya ada penggunaan bahasa daerah di sekolah negeri hingga kelas 3 SD (Indonesia Heritage, jilid 10, 2002).

Setiap orang dalam masyarakat bahasa di Indonesia dapat menunjukkan sedikitnya tiga tingkat interaksi linguistik, Yaitu:
  1. Tingkat suku bangsa, yaitu penggunaan bahasa dalam kelompok bahasa suku bangsa tertentu, misalnya antara sesama orang Melayu, Riau, Ambon, Sunda, Batak, Bugis, Jawa, dan sebagainya.
  2. Tingkat antarsuku bangsa, yaitu penggunaan bahasa di antara masyarakat kelompok sukubangsa yang berbeda. Misalnya percakapan antara orang Batak dengan orang Sunda, orang Ambon dengan orang Jawa, orang Minangkabau dengan orang Bugis, dan sebagainya. Tidak selalu mereka menggunakan bahasa Indonesia, mungkin mereka menggunakan bahasa tertentu yang dapat mereka mengerti.
  3. Tingkat nasional, yaitu penggunaan bahasa pada tingkat nasional, tentu dengan menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini sangat nampak pada acara-acara resmi dan keagamaan pada tingkat nasional serta di dunia pendidikan.
Pada hierarki ini, bahasa Melayu salah satu bahasa daerah berkedudukan unggul, karena penjelmaannya di tingkat nasional sebagai bahasa Indonesia, bahasa nasional. (Indonesiam Heritage, Jilid 10, 2002). Bahasa Melayu adalah salah satu bahasa daerah yang memiliki wilayah persebaran yang cukup luas. Ada bahasa Melayu Riau, bahasa Melayu Jambi, dan bahasa Melayu Langkat. Demikian juga halnya dengan bahasa Jawa, ada bahasa Jawa Surakarta, bahasa Jawa Banyumas, dan bahasa Jawa Surabaya. Kondisi yang sama kemungkinan besar akan ditemukan pada bahasa daerah lainnya. Apakah yang membedakan bahasa Melayu Langkat dengan Melayu Riau? Apakah yang membedakan bahasa Jawa Surakarta dengan bahasa Jawa Banyumas? Yang membedakan adalah variasi mereka dalam mengucapkannya yang pada akhirnya melahirkan logat, dialek atau aksen bahasa. Satu bahasa daerah (bahasa suku bangsa) sangat mungkin memiliki beberapa dialek. Dengan demikian, jumlah dialek sudah pasti lebih banyak daripada jumlah bahasa yang ada di Indonesia. Keberadaan dialek memperjelas teori yang menyatakan bahwa bahasa amat erat hubungannya dengan keadaan alam, suku bangsa, dan keadaan politik di daerah-daerah yang bersangkutan.

Variasi berbahasa, dialek, logat atau aksen dimiliki setiap orang, bahkan tanpa disadari melekat dalam diri setiap orang dan nampak ketika mengucapkan kata-kata dalam bahasa daerah ataupun bahasa nasional. Bahasa nasional adalah bahasa Indonesia, tetapi cara-cara setiap suku bangsa Indonesia dibedakan oleh aksen, logat atau dialek. Dialek orang Ambon menggunakan bahasa Indonesia sangat berbeda dengan orang
Jawa, Madura, Mingkabau, Batak, Melayu, dan sebagainya. Bahkan bagi orang-orang yang sudah mengenal berbagai suku bangsa Indonesia, dari dialeknya mengucapkan kata-kata dalam bahasa Indonesia, dapat mengetahui asal – usul daerah dan suku bangsanya.

Dimanakah kita dapat mendengar dan mengetahui bahasa dan dialek dari masyarakat bahasa (suku bangsa) yang ada di Indonesia? Kita dapat mengetahui dan mendengar pada percakapan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan. Kita dapat mengetahui dan mendengarnya melalui tradisi lisan yang ada pada setiap masyarakat bahasa (suku bangsa) yang ada di Indonesia. Bila kita ingin mengetahui dan mendengar bahasa dan dialek bahasa Jawa, kita dapat mewujudkan melalui tradisi lisan masyarakat Jawa, di antaranya wayang kulit. Wayang kulit adalah teater boneka bayang-bayang Indonesia. Kumpulan lakonnya banyak bersumber dari legenda dan kisah lisan sastra dari tradisi India dan Jawa. Wayang kulit disukai di Bali, Sumatera Selatan dan Jawa Barat, namun Jawa Tengah dianggap sebagai tempat asal bentuk teater ini. Bila kita ingin mengetahui dan mendengar bahasa dan dialek Melayu Riau, kita dapat mewujudkannya melalui tradisi lisan masyarakat Melayu Riau, yaitu Mak Yong. Aslinya Mak Yong dipertunjukkan bagi kelas atas di istana sultan, khususnya di Kelantan (sekarang Malaysia bagian timur laut) dan Raiu-Lingga, jantung peradaban Melayu hingga tahu 1700-an. Fungsi Mak Yong memberi penghormatan kepada Yang Mahakuasa. Sultan dan isterinya merupakan wakil Tuhan di bumi. Pertunjukan untuk sultan sebenarnya merupakan persembahan kepada Tuhan.

Apakah keterkaitan antara bahasa, dialek dan tradisi lisan? Uraian di atas telah menjelaskannya. Bahasa adalah sistem tanda bunyi yang digunakan manusia dalam berkomunikasi. Setiap orang sangat dipengaruhi oleh letak geografis, politik, ekonomi dan adat istiadat dalam berbahasa, sehingga muncullah dialek dalam berbahasa. Salah satu sarana untuk mengetahui dan mendengar dialek bahasa adalah tradisi lisan.

Secara sederhana dapat disimpulkan, bahasa melahirkan dialek yang dipelihara, dikembangkan dan diwariskan melalui tradisi lisan. Perkembangan suatu bahasa, dialek, dan tradisi lisan dapat menuju kepada dua arah, yaitu menjadi lebih luas daerah pakainya. Bahkan mungkin dapat menjadi bahasa baku, ataupun sebaliknya, yakni malah dapat lenyap sama sekali. Baik perkembangannya yang membaik maupun yang memburuk, semuanya itu selalu kembali kepada faktor-faktor penunjangnya, yaitu apakah itu faktor kebahasaan ataukah faktor luar bahasa. Contoh perkembangan membaik, misalnya saja adalah diangkat dan diakuinya bahasa dan dialek Sunda kota Bandung sebagai bahasa Sunda baku dan bahasa sekolah di Jawa Barat, serta bahasa Jawa kota Surakarta sebagai bahasa baku Jawa dan bahasa sekolah di Jawa Tengah. Contoh perkembangan memburuk, misalnya adalah lenyapnya bahasa dan dialek Sunda di kampung Legok Indramayu, yang sekarang hanya dapat menggunakan bahasa Jawa Cirebonan. Kelenyapan bahasa dan dialek ini sebenarnya merupakan keadaan yang paling buruk yang pernah dialami oleh sesuatu bahasa ataupun dialek.

Perkembangan membaik mungkin terjadi pada bahasa, dialek dan tradisi lisan dengan jumlah penutur di atas 1.000.000 (satu juta orang). Kekhawatiran perkembangan memburuk sangat mungkin terjadi pada bahasa, dialek, dan tradisi lisan dengan jumlah penutur yang sedikit (di bawah satu juta orang) dan diancam bahaya kepunahan. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perkembangan memburuk suatu bahasa, dialek dan tradisi lisan, antara lain:

a. Adanya susupan bahasa kebangsaan kepada bahasa daerah, dan susupan bahasa kebangsaan dan bahasa baku bahasa daerah ke dalam dialek. Terjadi atau masuknya susupan bahasa ini antara lain dapat melalui berbagai saluran, baik resmi ataupun tidak resmi, seperti:

1) Sekolah atau lembaga pendidikan
2) Saluran budaya

b. Faktor sosial. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin baiknya keadaan juga merupakan faktor penunjang bagi membaiknya taraf kehidupan sosial masyarakat. Dengan bertambah baiknya taraf kehidupan sosial tersebut, maka kemungkinan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik, dan memperoleh kedudukan yang lebih baik pun menjadi lebih terbuka pula. Sementara itu, dengan terbukanya kesempatan tersebut, maka banyak pula warga masyarakat yang berusaha serta mencapainya. Pada umumnya, untuk semua itu mereka harus meninggalkan kampung halamannya, dan pergi ke kota yang lebih besar sesuai dengan taraf yang hendak mereka capai sebelumnya.

Akan tetapi, di sana mereka harus hidup dalam lingkungan yang mungkin berbeda dengan lingkungan di kampung asalnya masing-masing. Sebagai hasil akhirnya, kalau pun ada di antara mereka yang kembali ke kampung halamannya, namun biasanya mereka tetap mempertahankan cara-cara hidup yang pernah mereka peroleh selama di rantau. Pada taraf bahasa daerah, biasanya mereka akan memperlihatkan pengaruh bahasa kebangsaan dan bahasa asing dalam tuturan (tutur kata) mereka. Pada tingkat dialek, biasanya mereka akan tetap mempergunakan bahasa baku karena sekarang mereka sadar bahwa ternyata dialeknya tidak sebaik bahasa baku.

Analogi Budaya 12 :

Coba kembangkan etos kerja, wawasan kebinekaan dan orientasi kecakapan hidup pada diri kalian.

Di dalam masyarakat Indonesia terdapat berbagai macam dan ragam bahasa, dialek, dan tradisi lisan. Perbedaan-perbedaan tersebut jika tidak dikelola secara baik dapat menimbulkan perpecahan dan konflik. Coba diskusikan dengan teman-teman kalian dan berikan solusi yang tepat supaya potensi kemajemukan budaya tersebut menjadi modal persatuan dan kemajuan bangsa. Setelah itu coba kalian buat organisasi remaja di daerah tempat tinggal kalian yang anggotanya terdiri dari remaja yang berasal dari berbagai daerah dan latar belakang budaya yang berbeda-beda.

M. Mengembangkan Sikap Kepedulian Terhadap Bahasa, Dialek Dan Tradisi Lisan

Bahasa, dialek dan tradisi lisan merupakan satu kesatuan. Tradisi lisan menunjukkan identitas dialek dan bahasa penuturnya. Tradisi lisan merupakan tradisi masyarakat sebelum mengenal tulisan yang dituturkan secara turun-temurun, dan dari mulut ke mulut (secara lisan dan bahasa mulut), namun keberadaannya tetap eksis (berkembang) sampai dengan zaman sekarang ini. Bahkan sampai saat ini masih banyak masyarakat bahasa yang mengandalkan tradisi lisan dalam berbagai aktivitas kebudayaan karena masyarakat bahasa yang bersangkutan belum mengenal tradisi tulis. Oleh karena itupula maka tradisi lisan memegang peranan yang sangat penting bagi berbagai keperluan, terutama sebagai sumber bagi kepentingan penelitian ilmiah yang berkaitan dengan bahasa, dialek dan tradisi lisan di berbagai masyarakat bahasa.

Bahasa Latin dan bahasa Sansekerta pada zamannya memiliki penutur yang sangat banyak dan menjadi bahasa utama bagi peradaban manusia, tetapi pada masa ini bahasa itu sudah punah, kita hanya dapat menemukannya pada berbagai hasil tradisi tulis, seperti buku dan kamus. Bahasa yang pernah mengalami kejayaan mengalami kepunahan. Karena bahasa, dialek dan tradisi lisan merupakan satu kesatuan, maka punahnya bahasa Latin dan Sangsekerta menyebabkan juga punahnya dialek dan tradisi lisan yang ada dalam bahasa tersebut. Bahasa Latin mengalami perkembangan memburuk. Hal yang sama dikhawatirkan dapat terjadi pada bahasa, dialek dan tradisi lisan masyarakat bahasa di Indonesia, terutama bahasa, dialek dan tradisi lisan yang memiliki jumlah penutur sangat sedikit (di bawah satu juta penutur).

Banyak faktor yang menyebabkan kekhawatiran itu. Faktor pertama adalah semakin pesatnya kemajuan yang dapat memberikan kemungkinan bagi terjadinya saling pengaruh antara masyarakat bahasa yang bersangkutan. Biasanya masyarakat bahasa dengan jumlah penutur yang besar akan menekan dan menghimpit masyarakat bahasa yang jumlah penuturnya lebih sedikit. Lama kelamaan hal ini akan dapat menyebabkan punahnya bahasa, dialek dan tradisi lisan masyarakat bahasa yang bersangkutan. Karena kalah bersaing dengan bahasa, dialek dan tradisi lisan dari masyarakat bahasa dengan jumlah penutur yang lebih besar.

Faktor kedua adalah sukarnya mempertemukan titik temu antara bahasa nasional dan bahasa daerah. Kedudukan sebagai bahasa negara dan lingua franca, bahasa Indonesia adalah bahasa resmi yang digunakan di sekolah dari berbagai tingkatan. Sehingga hampir setiap anak sekolah di Indonesia dapat berbahasa Indonesia. Hal ini, jelas mengurangi penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan bagi anak-anak yang orang tuanya tidak lancar lagi menggunakan bahasa daerahnya, kemungkinan besar menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dan utama dalam kehidupan sehari-hari. Bisa dibayangkan anak itu kemudian menjadi orang tua dan sudah mulai melupakan bahasa daerahnya. Dapat dipastikan bahwa anaknya kelak tidak akan dapat lagi menggunakan bahasa daerahnya. Hal ini dapat menyebabkan punahnya bahasa daerah dari masyarakat yang bersangkutan.

Faktor ketiga adalah keberadaan teknologi komunikasi dan media informasi yang sangat dominan dengan bahasa Indonesia dan bahasa asing. Setiap keluarga memiliki televisi, ketika menonton televisi kita menyaksikan orang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa asing lainnya, sangat jarang berbahasa daerah. Bahkan sebagian anak-anak Indonesia sudah mulai terasa lebih akrab dengan bahasa asing (bahasa Inggris) daripada bahasa daerahnya. Penyebabnya adalah setiap hari melalui televisi Ia menyaksikan orang menggunakan bahasa Inggris. lambat laun mereka mulai merasak tidak asing dan merasa akrab dengan bahasa asing dibandingkan dengan bahasa daerahnya. Lama kelamaan keadaan ini juga berdampak kurang menguntungkan bagi pelestarian bahasa, dialek dan tradisi lisan yang ada di Indonesia.

Bagaimanakah kita menyikapi keadaan dan situasi yang kurang menguntungkan bagi pelestarian bahasa, dialek dan tradisi lisan yang ada di Indonesia? Kita bersama harus meningkatkan kepedulian terhadap bahasa, dialek dan tradisi lisan yang ada di Indonesia. Kepedulian itu dapat kita wujudkan dengan mengembangkan sikap positif terhadap keadaan dan situasi yang kurang menguntungkan, mengevaluasi dan berusaha mencari hikmah untuk menemukan cara terbaik melestarikan bahasa, dialek dan tradisi lisan yang ada di Indonesia. Bagaimana pun buruknya situasi dan keadaan yang kita hadapi kita harus mewujudkan kepedulian terhadap bahasa, dialek dan tradisi lisan, dengan cara sebagai berikut.
  1. Ikut menjaga dan melestarikannya dalam kehidupan nyata. Banyak hal yang dapat dilakukan, diantaranya menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan berkeluarga, menghimpun dan mengoleksi berbagai tradisi lisan daerah sendiri, dan sebagainya.
  2. Menghormati bahasa, dialek, dan tradisi lisan masyarakat lain. Dalam hal ini kita harus mengembangkan sikap toleransi, membiarkan dan menghormati orang-orang yang berbicara dalam bahasa sukunya. Tidak perlu tersinggung dan berburuk sangka.
  3. Mengembangkan potensi bahasa, dialek, dan tradisi lisan yang ada di lingkungan masyarakat sekitar. Banyak hal yang dapat kita lakukan, mungkin kita sudah harus memasukkan bahasa daerah kita pada teknologi komunikasi, seperti hand phone, dapat juga dilakukan dengan membuat tayangan bahasa daerah di televisi saluran daerah dan nasional, serta mengajarkan bahasa daerah serta mementaskan tradisi lisan di sekolah-sekolah, dan sebagainya.
Analogi Budaya 13:

Coba kembangkan etos kerja, wawasan kebinekaandan orientasi kecakapan pada diri kalian.

Buatlah kelompok diskusi, kemudian carilah informasi dan data-data mengenai keanekaragaman bahasa, dialek dan tradisi lisan yang ada di Indonesia. Diskusikan dengan teman kalian, bagaimana carnya agar generasi muda memiliki semangat dan sikap kepedulian terhadap bahasa, dialek dan tradisi lisan yang ada. Sehingga tidak punah. Setelah itu coba kalian praktekkan cara yang tepat hasil diskusi tersebut dalam kehidupan kalian sehari-hari.

Rangkuman :

Pengertian bahasa antara lain bahasa adalah sebuah sistem, bahasa adalah sebuah sistem tanda, bahasa adalah sistem bunyi, bersifat produktif, untuk memiliki sifat universal, mempunyai variasi-variasi dan fungsi. Dialek adalah sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh satu masyarakat untuk membedakan dari masyarakat lain. Dialek bahasa dapat juga disebabkan oleh latar belakang pendidikan pemakaiannya, pekerjaannya atau karena faktor derajat resmi situasinya disebut dialek sosial.

Contoh tradisi lisan dalam beberapa masyarakat bahasa yang ada di Indonesia yaitu wayang kulit, Mak Yong, Didong, Tanggomo, Rabab Pariman, Pantun Sunda. Beberapa bahasa daerah Indonesia meliputi bahasa Jawa, bahasa Bali, bahasa Minangkabau, bahasa Bugis, bahasa Melayu dan sebagainya. Bahasa adalah sistem tanda bunyi yang digunakan manusia dalam berkomunikasi. Setiap orang sangat dipengaruhi oleh letak geografis, politik, ekonomi, dan adat istiadat dalam bahasa. Sehingga muncullah dialek dalam berbahasa. Salah satu sarana untuk mengetahui dan mendengar dialek bahasa adalah tradisi lisan. Secara sederhana dapat disimpulkan, bahasa melahirkan dialek yang dipelihara, dikembangkan dan diwariskan melalui tradisi lisan.

Anda sekarang sudah mengetahui Bahasa dan Dialek. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Referensi :

Hidayah, Z. 1999. Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta. p. 302.

Indonesia Heritage. 2002. Jilid 10. Bahasa dan Sastra. Jakarta: Buku Antarbangsa untuk Grolier International, Inc.

Koentjaraningrat. 1999. Pengantar Ilmu ANtropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Kridalaksana, H. 2005. “Bahasa dan Linguistik,” Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. ed. Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder. Jakarta: Gramedia.

Kridalaksana, H. dan H. Sutami. 2005. “Aksara dan Ejaan” dalam Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. ed. Kushartanti. Jakarta: PT. Gramedia.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1983. Kamus bahasa Indonesia, Volume 2. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Sibarani, R. 2002. Hakikat Bahasa. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Supriyanto. 2009. Antropologi Kontekstual : Untuk SMA dan MA Program Bahasa Kelas XI. Pusat Perbukuan Departemen Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 193.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar

Powered By Blogger